MEMBAGUN BIROKRASI PEMERINTAHAN MENUJU GOOD GOVERNANCE,DAN PENERAPAN GOOD GOVERNANCE DI INDONESIA



MEMBAGUN BIROKRASI PEMERINTAHAN MENUJU GOOD GOVERNANCE,DAN PENERAPAN GOOD GOVERNANCE DI INDONESI
                                                                                          
BAB I
PENDAHULUAN

1.1         Latar Belakang
Lahirnya wacana Good Governance berakar dari penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada praktik pemerintahan, seperti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Penyelenggaraan urusan publik yang bersifat sentralistis, non-partisipatif serta tidak akomodatif terhadap kepentingan publik, telah menumbuhkan rasa tidak percaya dan bahkan antipati kepada rezim pemerintahan yang ada. Masyarakat tidak puas dengan kinerja pemerintah yng selama ini dipercaya sebagai penyelenggara urusan publik. Beragam kekecewaan terhadap penyelenggaraan pemerintahan tersebut pada akhirnya melahirkan tuntutan untuk mengembalikan fungsi-fungsi pemerintahan yang ideal
Penerapan prinsip-prinsip good governance sangat penting dalam pelaksanaan anggaran belanja pemerintah pusat untuk mewujudkan kesejahteraan dan pemerataan. Hal ini disebabkan karena pemerintah merancang konsep keadilan sosial melalui anggaran negara untuk meningkatkan potensi perubahan dalam birokrasi agar mewujudkan komitmen terhadap kesejahteraan rakyat. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang sedang berjuang dan mendambakan terciptanya good governance. Namun, keadaan saat ini menunjukkan bahwa hal tersebut masih sangat jauh dari harapan. Kepentingan politik, KKN, peradilan yang tidak adil, bekerja di luar kewenangan, dan kurangnya integritas dan transparansi adalah beberapa masalah yang membuat pemerintahan yang baik masih belum bisa tercapai.
Good governance (tata pemerintahan yang baik) sudah lama menjadi mimpi buruk banyak orang di Indonesia. Kendati pemahaman mereka tentang good governance berbeda-beda, namun setidaknya sebagian besar dari mereka membayangkan bahwa dengan good governance mereka akan dapat memiliki kualitas pemerintahan yang lebih baik. Banyak di antara mereka membayangkan bahwa dengan memiliki praktik good governance yang lebih baik, maka kualitas pelayanan publik menjadi semakin baik, angka korupsi menjadi semakin rendah, dan pemerintah menjadi semakin peduli dengan kepentingan warga 

1.2    Rumusan Masalah
Apakah yang dimaksud Membangun Birokrasi Pemerintah Menuju Good Governance.?
Apa saja Prinsip Good Governance.?
Bagaimana Penerapan Good Governance di Indonesia.?

BAB II
PEMBAHASAN

2.1         Pengertian

            Good Governance adalah suatu peyelegaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun secara administratif menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal dan politican framework bagi tumbuhnya aktifitas usaha.
            Good governance pada dasarnya adalah suatu konsep yang mengacu kepada proses pencapaian keputusan dan pelaksanaannya yang dapat dipertanggungjawabkan secara bersama. Sebagai suatu konsensus yang dicapai oleh pemerintah, warga negara, dan sektor swasta bagi penyelenggaraan pemerintahaan dalam suatu negara.
Good Governance di Indonesia sendiri mulai benar–benar dirintis dan diterapkan sejak meletusnya era Reformasi yang dimana pada era tersebut telah terjadi perombakan sistem pemerintahan yang menuntut proses demokrasi yang bersih sehingga Good Governance merupakan salah satu alat Reformasi yang mutlak diterapkan dalam pemerintahan baru. Akan tetapi, jika dilihat dari perkembangan Reformasi yang sudah berjalan selama 15 tahun ini, penerapan Good Governance di Indonesia belum dapat dikatakan berhasil sepenuhnya sesuai dengan cita–cita Reformasi sebelumnya. Masih banyak ditemukan kecurangan dan kebocoran dalam pengelolaan anggaran dan akuntansi yang merupakan dua produk utama Good Governance.

2.2  Membangun Birokrasi Pemerintah Menuju Good Governance,
            Saat ini, good governance merupakan isu yang mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik. Good Governance adalah koordinasi bahkan sinergi kepengelolaan yang baik antara governance di sektor publik (pemerintahan) dengan governance di sektor masyarakat, terutama swasta, sehingga dapat dihasilkan transaksional output melalui mekanisme pasar yang paling ekonomis dari kegiatan  masyarakat. Oleh karena itu,dalam good governance tidak saja dituntut suatu birokrasi publik yang efisien dan efektif, melainkan juga private sector governance yangefisiendankompetitif.
            Carl J. Bellone (1980: 285) menyebutkan bahwa birokrasi adalah: an organizational structure characterized by hierarchical arrangement of office, merit-based selection, impartial application of written rules and regulations, and some centralization of authority. Birokrasi merupakan karakteristik struktur organisasi (pemerintahan) yang memiliki urutan hierarki. Berdasarkan hierarki tersebut di dalamnya terdapat posisi-posisi atau jabatan yang mempunyai kewajiban dan tugas pekerjaannya masing-masing dalam mencapai tujuan. Dalam menjalankan tugas pekerjaannya selalu berpatokan pada nilai-nilai hukum dan peraturan yang berlaku. Dalam birokrasi juga mengatur tentang pembagian kekuasaan (otoritas) dalam menjalankan roda pemerintahan.
            Pada sisi lain, birokrasi pemerintah sering diartikan sebagai “officialdom” atau kerajaan pejabat (Thoha, 2003: 68); sebuah kerajaan (raja) di dalamnya memiliki yuridiksi yang jelas dan pasti. Dalam yuridiksi tersebut, seseorang mempunyai tugas dan tanggung jawab resmi (official duties) yang memperjelas batas-batas kewenangan pekerjaannya. Mereka bekerja dalam tatanan pola hierarki sebagaperwuju dan dari tingkat anotoritas dan kekuasaannya. Dalam aplikasi nya penerapan birokrasi tidak berjalan mulus sebagaimana teorinya. Di dalamnya terdapat banyak rintangan-rintangan, sehingga birokrasi hanya sebagai kedok untuk menutupi kepentingan-kepentingan aparatur yang berperilaku menyimpang. Indonesia misalnya, semakin sulit untuk mewujudkan good governance, yang terjadi selama ini governance sektor publik yang intervensinya justru mengeroposkan governance di sektor swasta. Sejak pertengahan tahun 80-an, dengan apa yang disebut “crony capitalism” (Miftah Thoha, 1999: 67) atau transaksi ekonomi KKKN (Kolusi,Korupsi,Kronisme,danNepotisme).
            Administrasi negara di Indonesia pada saat ini lebih tepat dikatakan sebagai alat untuk menegakkan kekuasaan negara bukan kekuasaan rakyat. Itulah sebabnya realitas administrasi negara saat ini lebih banyak sebagai gambaran atau lukisan dari pada realitanya. Sehingga diperlukan pemikiran-pemikiran baru yang dapat meluruskan kembali ke arah pelaksanaan administrasi Negara yang ideal menuju good governance.
            Birokrasi pemerintah yang dipandang perlu untuk dibangun kembali guna menuju pemerintahan yang adil, bersih, berwibawa, dan demokratis (good governance).
Sehingga permasalahan-permasalahan yang perlu dikaji kembali sebagai jalan pemecahannya antaralain:
1.      Evaluasi diri terhadap kondisi birokrasi pemerintah Indonesia saat ini.
2.      Adanya perubahan paradigma birokrasi pemerintah ke arah yang lebih ideal.
3.      Repositioning birokrasi pemerintah.
4.      Memiliki aparatur pemerintah yang memiliki komitmen terhadap nilai-nilai, sehingga terjadinya demokratisasi birokrasi.
5.      Perananpemerintahdanmasyarakatdalammembangunbirokrasi.
            Diharapkan dengan adanya perubahan paradigma pemerintah ke arah birokrasi yang ideal, didukung aparatur pemerintah yang menjunjung tinggi nilai-nilai dan berperilaku positif, adanya komunikasi yang baik antara pemerintah dengan masyarakat, dan ikut berperan di dalamnya, maka good governance dapat diwujudkan.
·                     Kondisi Birokrasi Pemerintah SaatIni Kehidupan dan tumbuh kembangnya birokrasi pemerintah di Indonesia sangat ditentukan oleh percaturan politik terlebih lagi ketika sehabis dilaksanakan pemilihan umum. Oleh karena itu birokrasi pemerintah sangat ditentukan oleh kehidupan politik dan pemilunya. Sejalan dengan pendapat Carl J. Bellone (1946: 34-35) bahwa ilmu pengetahuan politis adalah induk dari administrasi pemerintahan. Bahkan di kalangan akademisi beranggapan bahwa administrasi pemerintahan lebih dari sekedar ilmu pengetahuan politis. Kehidupan modern telah mendorong birokrasi menjadi alat yang unggul dalam mengatur proses pemerintahan. Kekuasaan birokratis telah menjadikan lembaga pemerintahan memiliki kapasitas yang luar biasa dan menjadi sentral untuk mengarahkan energi politis. Sebagai akibatnya,pemerintahan birokratis lebih dari partai politik.

            Partai politik didirikan tidak memiliki keinginan lain, kecuali untuk bisa memerintah negara. Upaya untuk memerintah itu menurut paham demokrasi dibatasi oleh waktu tertentu dan harus dilakukan melalui cara pemilihan umum yang dijalankan secara demokratis, jujur, adil, bebas, rahasia, dan konstitusional. Pemerintah partai politik ini akan membawahi dan memerintah birokrasi pemerintah yang eksistensinya tidak memalui pemilihan umum, melainkan melalui jalur karier yang dibinanya dengan cara-cara merit. Agar supaya profesionalisme birokrasi tidak terganggu dengan silih bergantinya partai politik, para birokratnya tidak dibenarkan untuk memihak.

            Selain itu administrasi negara digambarkan pula sebagai upaya yang lebih concern terhadap “pelaksanaan suatu konstitusi ketimbang membuatnya” (Miftah Thoha, 1999: 46). Ungkapan ini menjelaskan bahwa administrasi negara lebih populer disebut mengutamakan melaksanakan kebijakan ketimbang membuatnya. Proses pembuatan kebijakan publik domain dari wilayah politik. Di wilayah ini partai politik berkiprah menentukan visi politik ke arah mana pemerintahan negara ini dikendalikan. Sedangkan visi politik itu bagaimana mewujudkan diserahkan kepada ahlinya yakni kepada birokrasi pemerintah. Upaya birokrasi melaksanakan kebijakan publik tersebut merupakan wilayah dan domain administrasi negara.

            Birokrasi pemerintah saat ini mencerminkan birokrasi besar yang menekankan pada kewenangan yang tidak didukung dengan aparatur yang profesional dengan kompetensi yang sesuai dengan bidang fungsi yang dilaksanakan. Disamping itu Asep Kartiwa (2004: 7) menyatakan bahwa birokrasi pemerintahan kita belum didukung dengan sistem kepegawaian yang didasarkan pada sistem merit, dalam kondisi swasta belum dapat menciptakan lapangan kerja. Pada masa krisis ini birokrasi pemerintah menanggung beban yang cukup banyak. Sehingga aparatur yang profesional dan memahami paradigma sesuai dengan konsep birokrasi ideal menjadi kebutuhan yang mendesak.
·                     Perubahan ParadigmBirokrasi Pemerintah Pembaharuan dan penyempurnaan birokrasi telah menjadi perhatian serius di negara-negara berkembang, termasuk negara Indonesia. Bahkan di negara-negara maju sekalipun, masih merasakan kekurangpuasan peran birokrasi pemerintah, sehingga terus berupaya untuk mencari identitas baru bagi birokrasinya.
            Para pakar administrasi selalu mengamati adanya alur pikir baru yang ditunjang dengan seperangkat teori yang melahirkan paradigma baru dalam dunia ilmu administrasi negara. Paradigma baru yang memandang birokrasi sebagai organisasi pemerintahan tidak lagi semata-mata hanya melakukan tugas-tugas pemerintahan akan barang-barang publik (public goods), tetapi juga melakukan dorongan dan motivator bagi tumbuh kembangnya peran serta masyarakat.

            Pertumbuhan ciri birokrasi tradisional ke arah birokrasi modern menjadi suatu kenyataan yang bersifat implikatif. Seiring dengan berbagai kemajuan dan munculnya kebutuhan aparatur birokrasi yang profesional, mengakibatkan kebutuhan akan pelayanan juga semakin kompleks, serta menuntut kualitas pelayanan yang semakin baik. Birokrasi yang berada di tengah-tengah masyarakat tersebut tidak dapat tinggal diam, tetapi harus lebih mampu memberikan berbagai pelayanan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

            Carl J. Bellone (1980: 35) menyebutkan bahwa sejak Thomas Kuhn menerbitkan Struktur Ilmiah, sarjana-sarjana ilmu sosial bergerak cepat untuk menemukan paradigma baru dalam bidang administrasi pemerintahan modern. Ada lima model teori administrasi pemerintahan yang diambil untuk menuju perubahan yang lebih baik berdasarkan pengalaman empiris, yaitu: 1) Model birokratis klasik, yang mempunyai dua komponen basis dasar. Yang pertama adalah struktur atau perancangan suatu organisasi, dan yang kedua adalah pembagian tugas dan pekerjaan yang didesain secara organisatoris; 2) Model neo-birokratis, adalah suatu produk dari era prilaku. Nilai-nilai untuk dicapai biasanya serupa dengan model birokratis klasik, karenanya dalam model neo-birokratis adanya “tujuan”. Model birokratis ini menekankan struktur, kendali, dan prinsip-prinsip administrasi. Unit analisis pada umumnya kelompok kerja, agen, departemen, atau keseluruhan pemerintah. Nilai-nilai untuk dicapai adalah efektivitas, efisiensi, atau ekonomi. Dalam model neo-birokratis, keputusan adalah unit analisa yang umum, dan proses pengambilan keputusan menjadi fokusnya; 3) Model kelembagaan, dalam model kelembagaan ini lebih ditekankan pada bagaimana cara mendisain efisien, efektif, atau organisasi produktif. Dalam model birokrasi kelembagaan tidak hanya mengutamakan rasionalitas, tetapi juga menggantungkan pada nilai-nilai. Keputusan yang diambil birokrasi merupakan tawaran dan kompromi kelompok yang berminat dan menggerakkan pemerintahan secara berangsur-angsur ke arah sasaran hasil. Model ini sungguh-sungguh menjalankan pemerintahan secara demokratis; 4) Model Hubungan antar manusia, model ini merupakan reaksi terhadap model birokratis klasik dan neo-birokratis. Penekanannya pada kendali, struktur, efisiensi, ekonomi, rasionalitas, dan pergerakan hubungan antar manusia. Dalam pergerakan hubungan antar manusia mencerminkan nilai-nilai yang mendasarinya. Nilai-nilai ini meliputi pekerja dan keikutsertaan klien dalam pengambilan keputusan yang dapat mengurangi perbedaan status dan kompetisi hubungan antar pribadi, serta menekankan pada proses keterbukaan, kejujuran, perwujudan diri, dan kepuasan masyarakat, dan 5) Model administrasi pemerintahan baru, dalam model ini birokrat harus mulai bersikap bahwa nilai-nilai yang berbeda perlu mendominasi. Dengan perbedaan tersebut akan membantu perkembangan organisasi demokratis didesentralisasi yang mendistribusikan jabatan dalam pemerintahan yang sesuai. Sasaran hasil dari administrasi pemerintahan baru adalah untuk mengorganisasi, menguraikan, atau membuat organisasi mata-mata yang berfungs imemberi penilaian.
            Pendapat di atas sejalan dengan pendapat Weber sebagai tokoh yang memperkenalkan birokrasi. Weber memandang birokrasi rasional atau ideal sebagai unsur pokok dalam rasionalisasi dunia modern, yang baginya jauh lebih penting dari seluruh proses sosial. Diantara yang lain-lain, proses ini mencakup ketepatan dan kejelasan yang dikembangkan dalam prinsip memimpin organisasi sosial. Menurut Weber dalam (Miftah Thoha, 2002: 16-17) menyatakan birokrasi ideal yang rasional itu singkatnya dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut: Pertama, individu pejabat secara personal bebas, akan tetapi dibatasi oleh jabatannya manakala ia menjalankan tugas-tugas atau kepentingan individual dalam jabatannya untuk keperluan dan kepentingan pribadinya termasuk keluarganya; Kedua, jabatan-jabatan itu disusun dalam tingkatan hierarki dari atas ke bawah dan kesamping. Konsekuensinya ada pejabat atasan dan bawahan dan ada pula yang menyandang kekuasaan lebih besar dan ada yang lebih kecil; Ketiga, tugas dan fungsi masing-masing jabatan dalam hierarki itu secara spesifik berbeda satu sama lainnya; Keempat, setiap pejabat mempunyai kontrak jabatan yang harus dijalankan. Uraian tugas (job description) masing-masing pejabat merupakan domain yang menjadi wewenang dan tanggung jawab yang harus dijalankan sesuai dengan kontrak; Kelima, setiap pejabat diseleksi atas dasar kualifikasi profesionalitasnya, yang idealnya dilakukan melalui ujian kompetitif; Keenam, setiap pejabat mempunyai gaji termasuk hak untuk menerima pensioun sesuai dengan tingkatan hierarki jabatan yang disandangnya. Setiap pejabat bisa memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya dan jabatannya sesuai dengan keinginannya dan kontraknya dapat diakhiri dalam keadaan tertentu; Ketujuh, terdapat struktur pengembangan karier yang jelas dengan promosi berdasarkan senioritas dan merit sesuao dengan pertimbangan yang objektif; Kedelapan, setiap pejabat sama sekali tidak dibenarkan menjalankan jabatannya dan resources intansinya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya; Kesembilan, setiap pejabat berada di bawah pengendalian dan pengawasan suatu sistem yang dijalankan secara disiplin.
            Sejalan dengan konsep birokrasi ideal di atas, penyelenggaraan birokasi pemerintah Indonesia harus terjadi perubahan paradigma menuju good governance, antaralain:
A.    Perubahan paradigma dari orientasi manajemen pemerintahan yang sarwa negara menjadi berorientasi ke pasar (market). Selama ini manajemen pemerintahan mengikuti paradigma yang lebih mengutamakan kepentingan negara. Semuanya bisa ditentukan oleh negara. Kepentingan negara menjadi pertimbangan pertama dan utama dalam mengatasi segala macam persoalan yang timbul. Orientasi manajemen pemerintahan diarahkan kepada pasar. Aspirasi masyarakat menjadi lebih penting artinya untuk menjadi bahan pertimbangan pemerintah.
B.     Perubahan paradigma dan orientasi manajemen pemerintahan yang otoritarian menjadi berorientasi kepada egalitarian dan demokrasi. Kecenderungan orientasi yang mementingkan aspirasi negara bisa melahirkan sistem yang bersifat otoritarian. Pendekatan kekuasaan yang terkonsentrasi pada satu orang cenderung mengabaikan kepentingan rakyat banyak. Paradigma semacam ini telah banyak ditinggalkan dan diganti dengan paradigma yang mengutamakan peranan dan kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat menjadi pertimbangan pertama dan utama jika menginginkan tatanan pemerintahan yang demokratis.
C.     Perubahan paradigma dari sentralisasi kekuasaan menjadi desentralisasi kewenangan. Selama ini kekuasaan pemerintahan lebih condong dilakukan secara sentral, seperti yang diuraikan dimuka. Kegiatan mulai dari perumusan kebijaksanaan dilakukan secara terpusat dan dilakukan oleh aparat pemerintah pusat.
D.    Perubahan manajemen pemerintahan yang hanya menekankan pada batas-batas dan aturan yang berlaku untuk satu negara tertentu, mengalami perubahan ke arah boundaryless organization (Ashkenas et al, 1995). Seringkali dikemukakan bahwa sekarang ini merupakan jamannya tata manajemen pemerintahan yang cenderung dipengaruhi oleh tata aturan global. Keadaan seperti ini akan membawa akibat bahwa tata aturan yang hanya menekankan pada aturan nasional saja kurang menguntungkan dalam percaturan global.
E.     Perubahan dari paradigma dari tatanan administrasi negara yang berorientasi pada paperwork menjadi tatanan administrasi negara yang paperless (Osborn, 1992). Tata birokrasi pemerintahan seperti ini membutuhkan kompetensi sumber daya aparatur yang memahami dan mengetrapkan information technology (Lucas, 1996). Kompetensi inilah yang seharusnya banyak diwujudkan dalam pendidikan dan pelatihan profesional bagi pegawai-pegawai pemerintah.
F.      Perubahan paradigma dari a low trust society ke arah high trust society (Fukuyama, 1995). Di dalam masyarakat yang rendah tingkat kepercayaannya tidak bakal terjadi suasana demokrasi. Birokrasi pemerintah yang hidup dalam masyarakat seperti ini, akan melahirkan cara-cara kerja yang tidak demokratis, membatasi ruang gerak, menjauhkan birokrasi dari interaksi dengan masyarakat, dan membelenggu organisasi dengan serangkaian aturan-aturan birokrasi. Sebaliknya paradigma baru yang menekankan terhadap kepercayaan sehingga melahirkan suatu masyarakat yang tinggi tingkat kepercayaannya akan mampu membuat birokrasi lebih demokratis. Birokrasi seperti ini akan menciptakan suasana kerja yang lebih fleksibel dan berbasiskan pada orientasi kelompok kerja dengan lebih memberikan tanggung jawab yang besar pada tataran organisasi yang paling bawah. Birokrasi pemerintah seperti ini akan memperlakukan para pegawainya sebagai orang dewasa yang bisa dipercaya untuk memberikan konstribusi pelayanan kepada masyarakat.

2.3 Prinsip Good Governance

            Kunci utama memahami good governance adalah pemahaman atas prinsip-prinsip di dalamnya. Bertolak dari prinsip-prinsip ini akan didapatkan tolak ukur kinerja suatu pemerintahan. Baik-buruknya pemerintahan bisa dinilai bila ia telah bersinggungan dengan semua unsur prinsip-prinsip good governance. Menyadari pentingnya masalah ini, prinsip-prinsip good governance diurai satu persatu sebagaimana tertera di bawah ini:

1.            Partisipasi Masyarakat (Participation)

            Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif. Partisipasi bermaksud untuk menjamin agar setiap kebijakan yang diambil mencerminkan aspirasi masyarakat. Dalam rangka mengantisipasi berbagai isu yang ada, pemerintah daerah menyediakan saluran komunikasi agar masyarakat dapat mengutarakan pendapatnya. Jalur komunikasi ini meliputi pertemuan umum, temu wicara, konsultasi dan penyampaian pendapat secara tertulis. Bentuk lain untuk merangsang keterlibatan masyarakat adalah melalui perencanaan partisipatif untuk menyiapkan agenda pembangunan, pemantauan, evaluasi dan pengawasan secara partisipatif dan mekanisme konsultasi untuk menyelesaikan isu sektoral.

2.            Tegaknya Supremasi Hukum (Rule of Law)

            Partisipasi masyarakat dalam proses politik dan perumusan-perumusan kebijakan publik memerlukan sistem dan aturan-aturan hukum. Sehubungan dengan itu, dalam proses mewujudkan cita good governance, harus diimbangi dengan komitmen untuk menegakkan rule of law dengan karakter-karakter antara lain sebagai berikut: Supremasi hukum (the supremacy of law), Kepastian hukum (legal certainty), Hukum yang responsip, Penegakkan hukum yang konsisten dan non-diskriminatif, Indepedensi peradilan. Kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk di dalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia.

3.            Transparansi (Transparency)

            Transparansi adalah keterbukaan atas semua tindakan dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Prinsip transparansi menciptakan kepercayaan timbal-balik antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai. Tranparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau. Sehingga bertambahnya wawasan dan pengetahuan masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan. Meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan, meningkatnya jumlah masyarakat yang berpartisipasi dalam pembangunan dan berkurangnya pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan.

4.            Peduli pada Stakeholder/Dunia Usaha

             Lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahan harus berusaha melayani semua pihak yang berkepentingan. Dalam konteks praktek lapangan dunia usaha, pihak korporasi mempunyai tanggungjawab moral untuk mendukung bagaimana good governance dapat berjalan dengan baik di masing-masing lembaganya. Pelaksanaan good governance secara benar dan konsisten bagi dunia usaha adalah perwujudan dari pelaksanaan etika bisnis yang seharusnya dimiliki oleh setiap lembaga korporasi yang ada didunia. Dalam lingkup tertentu etika bisnis berperan sebagai elemen mendasar dari konsep CSR (Corporate Social Responsibility) yang dimiliki oleh perusahaan. Pihak perusahaan mempunyai kewajiban sebagai bagian masyarakat yang lebih luas untuk memberikan kontribusinya. Praktek good governance menjadi kemudian guidence atau panduan untuk operasional perusahaan, baik yang dilakukan dalam kegiatan internal maupun eksternal perusahaan. Internal berkaitan dengan operasional perusahaan dan bagaimana perusahaan tersebut bekerja, sedangkan eksternal lebih kepada bagaimana perusahaan tersebut bekerja dengan stakeholder lainnya, termasuk didalamnya publik.

5.            Berorientasi pada Konsensus (Consensus)

            Menyatakan bahwa keputusan apapun harus dilakukan melalui proses musyawarah melalui konsesus. Model pengambilan keputusan tersebut, selain dapat memuaskan semua pihak atau sebagian besar pihak, juga akan menjadi keputusan yang mengikat dan milik bersama, sehingga ia akan mempunyai kekuatan memaksa (coercive power) bagi semua komponen yang terlibat untuk melaksanakan keputusan tersebut. Paradigma ini perlu dikembangkan dalam konteks pelaksanaan pemerintahan, karena urusan yang mereka kelola adalah persoalan-persoalan publik yang harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Semakin banyak yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan secara partisipasi, maka akan semakin banyak aspirasi dan kebutuhan masyarakat yang terwakili. Tata pemerintahan yang baik menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda demi terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi kelompok-kelompok masyarakat, dan bila mungkin, konsensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur.

6.            Kesetaraan (Equity)

            Kesetaraan yakni kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan. Semua warga masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka. Prinsip kesetaraan menciptakan kepercayaan timbal-balik antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai. Informasi adalah suatu kebutuhan penting masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan daerah. Berkaitan dengan hal tersebut pemerintah daerah perlu proaktif memberikan informasi lengkap tentang kebijakan dan layanan yang disediakannya kepada masyarakat. Pemerintah daerah perlu mendayagunakan berbagai jalur komunikasi seperti melalui brosur, leaflet, pengumuman melalui koran, radio serta televisi lokal. Pemerintah daerah perlu menyiapkan kebijakan yang jelas tentang cara mendapatkan informasi

7.            Efektifitas dan Efisiensi (Effectiveness and Efficiency)

            Untuk menunjang prinsip-prinsip yang telah disebutkan di atas, pemerintahan yang baik dan bersih juga harus memenuhi kriteria efektif dan efisien yakni berdaya guna dan berhasil-guna. Kriteria efektif biasanya di ukur dengan parameter produk yang dapat menjangkau sebesar-besarnya kepentingan masyarakat dari berbagai kelompok dan lapisan sosial. Agar pemerintahan itu efektif dan efisien, maka para pejabat pemerintahan harus mampu menyusun perencanaan-perencanaan yang sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat, dan disusun secara rasional dan terukur. Dengan perencanaan yang rasional tersebut, maka harapan partisipasi  masyarakat akan dapat digerakkan dengan mudah, karena program-program itu menjadi bagian dari kebutuhan mereka. Proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin.

8.            Akuntabilitas (Accountability)

            Akuntabilitas adalah pertangungjawaban pejabat publik terhadap masyarakat yang memberinya kewenangan untuk mengurusi kepentingan mereka. Para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta dan organisasi-organisasi masyarakat bertanggung jawab baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan. Bentuk pertanggungjawaban tersebut berbeda satu dengan lainnya tergantung dari jenis organisasi yang bersangkutan. Instrumen dasar akuntabilitas adalah peraturan perundang-undangan yang ada, dengan komitmen politik akan akuntabilitas maupun mekanisme pertanggungjawaban, sedangkan instrumen-instrumen pendukungnya adalah pedoman tingkah laku dan sistem pemantauan kinerja penyelenggara pemerintahan dan sistem pengawasan dengan sanksi yang jelas dan tegas.


9.            Visi Strategis (Strategic Vision)

            Visi strategis adalah pandangan-pandangan strategis untuk menghadapi masa yang akan datang. Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga harus memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya dan sosial yang menjadi dasar bagi perspektif tersebut.

2.4 Penerapan Good Governance di Indonesia

            Good Governance diIndonesia sendiri mulai benar – benar dirintis dan diterapkan sejak meletusnya era Reformasi yang dimana pada era tersebut telah terjadi perombakan sistem pemerintahan yang menuntut proses demokrasi yang bersih sehingga Good Governance merupakan salah satu alat Reformasi yang mutlak diterapkan dalam pemerintahan baru. Akan tetapi, jika dilihat dari perkembangan Reformasi yang sudah berjalan selama 12 tahun ini, penerapan Good Governance diIndonesia belum dapat dikatakan berhasil sepenuhnya sesuai dengan cita – cita Reformasi sebelumnya. Masih banyak ditemukan kecurangan dan kebocoran dalam pengelolaan anggaran dan akuntansi yang merupakan dua produk utama Good Governance.

            Akan tetapi, Hal tersebut tidak berarti gagal untuk diterapkan, banyak upaya yang dilakukan pemerintah dalam menciptaka iklim Good Governance yang baik, diantaranya ialah mulai diupayakannya transparansi informasi terhadap publik mengenai APBN sehingga memudahkan masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam menciptakan kebijakan dan dalam proses pengawasan pengelolaan APBN dan BUMN. Oleh karena itu, hal tersebut dapat terus menjadi acuan terhadap akuntabilitas manajerial dari sektor publik tersebut agar kelak lebih baik dan kredibel kedepannya. Undang-undang, peraturan dan lembaga – lembaga penunjang pelaksanaan Good governance pun banyak yang dibentuk.

Hal ini sangatlah berbeda jika dibandingkan dengan sektor publik pada era Orde Lama yang banyak dipolitisir pengelolaannya dan juga pada era Orde Baru dimana sektor publik di tempatkan sebagai agent of development bukannya sebagai entitas bisnis sehingga masih kental dengan rezim yang sangat menghambat terlahirnya pemerintahan berbasis Good Governance.
Diterapkannya Good Governance diIndonesia tidak hanya membawa dampak positif dalam sistem pemerintahan saja akan tetapi hal tersebut mampu membawa dampak positif terhadap badan usaha non-pemerintah yaitu dengan lahirnya Good Corporate Governance. Dengan landasan yang kuat diharapkan akan membawa bangsa Indonesia kedalam suatu pemerintahan yang bersih dan amanah.




















BAB III
PENUTUP
3.Kesimpulan

Pengertian Good Governance adalah suatu peyelegaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun secara administratif menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal dan politican framework bagi tumbuhnya aktifitas usaha.

Membangun Birokrasi Pemerintah Menuju Good Governance, Saat ini, good governance merupakan isu yang mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik. Good Governance adalah koordinasi bahkan sinergi kepengelolaan yang baik antara governance di sektor publik (pemerintahan) dengan governance di sektor masyarakat, terutama swasta, sehingga dapat dihasilkan transaksional output melalui mekanisme pasar yang paling ekonomis dari kegiatan masyarakat. Oleh karena itu, dalam good governance tidak saja dituntut suatu birokrasi publik yang efisien dan efektif, melainkan juga private sector governance yang efisien dan kompetitif. 

Penerapan Good Governance di Indonesia Good Governance diIndonesia sendiri mulai benar – benar dirintis dan diterapkan sejak meletusnya era Reformasi yang dimana pada era tersebut telah terjadi perombakan sistem pemerintahan yang menuntut proses demokrasi yang bersih sehingga Good Governance merupakan salah satu alat Reformasi yang mutlak diterapkan dalam pemerintahan baru. Akan tetapi, jika dilihat dari perkembangan Reformasi yang sudah berjalan selama 12 tahun ini, penerapan Good Governance diIndonesia belum dapat dikatakan berhasil sepenuhnya sesuai dengan cita – cita Reformasi sebelumnya.




DAFTAR PUSTAKA

Bryant, C. dan White, L.G. 1989. Manajemen Pembangunan untuk Negara Berkembang. LP3ES. Yogyakarta.
Caiden, G.E. 1991. Administrative Reform Comes of Ages. Berlin: Water de Gruyter.
Cooper, P.J. 1998. Public Administration for The Twenty-first Century. Orlando, Florida: Harcourt Brace.
Fukuyama, Francis. 2004. State Building, Governance and World Order in The Twenty First, Profile Books Limited





Komentar

Postingan populer dari blog ini

LEMBAGA KEMENTRIAN (WIZARAH AL-TAFWIDH DAN WIZARAH AL-TANFIDZ)

Opini Tentang Masalah Sosial dalam Masyarakat

Sejarah Lahirnya Sosiologi