MEMBAGUN BIROKRASI PEMERINTAHAN MENUJU GOOD GOVERNANCE,DAN PENERAPAN GOOD GOVERNANCE DI INDONESIA
MEMBAGUN BIROKRASI PEMERINTAHAN MENUJU GOOD GOVERNANCE,DAN PENERAPAN GOOD GOVERNANCE DI INDONESI
BAB I
1.1 Latar
Belakang
1.2 Rumusan Masalah
BAB II
2.1 Pengertian
Good Governance adalah suatu peyelegaraan
manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan
prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana
investasi dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun secara
administratif menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal dan
politican framework bagi tumbuhnya aktifitas usaha.
Good governance pada dasarnya adalah suatu
konsep yang mengacu kepada proses pencapaian keputusan dan pelaksanaannya yang
dapat dipertanggungjawabkan secara bersama. Sebagai suatu konsensus yang
dicapai oleh pemerintah, warga negara, dan sektor swasta bagi penyelenggaraan
pemerintahaan dalam suatu negara.
Good Governance
di Indonesia sendiri mulai benar–benar dirintis dan diterapkan sejak meletusnya
era Reformasi yang dimana pada era tersebut telah terjadi perombakan sistem
pemerintahan yang menuntut proses demokrasi yang bersih sehingga Good
Governance merupakan salah satu alat Reformasi yang mutlak diterapkan dalam
pemerintahan baru. Akan tetapi, jika dilihat dari perkembangan Reformasi yang
sudah berjalan selama 15 tahun ini, penerapan Good Governance di Indonesia
belum dapat dikatakan berhasil sepenuhnya sesuai dengan cita–cita Reformasi
sebelumnya. Masih banyak ditemukan kecurangan dan kebocoran dalam pengelolaan
anggaran dan akuntansi yang merupakan dua produk utama Good Governance.
2.2 Membangun Birokrasi Pemerintah
Menuju Good Governance,
Saat ini, good governance merupakan isu
yang mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik. Good Governance adalah
koordinasi bahkan sinergi kepengelolaan yang baik antara governance di sektor
publik (pemerintahan) dengan governance di sektor masyarakat, terutama swasta,
sehingga dapat dihasilkan transaksional output melalui mekanisme pasar yang
paling ekonomis dari kegiatan masyarakat. Oleh karena itu,dalam good governance
tidak saja dituntut suatu birokrasi publik yang efisien dan efektif, melainkan
juga private sector governance yangefisiendankompetitif.
Carl J. Bellone (1980: 285) menyebutkan bahwa birokrasi adalah: an organizational structure characterized by hierarchical arrangement of office, merit-based selection, impartial application of written rules and regulations, and some centralization of authority. Birokrasi merupakan karakteristik struktur organisasi (pemerintahan) yang memiliki urutan hierarki. Berdasarkan hierarki tersebut di dalamnya terdapat posisi-posisi atau jabatan yang mempunyai kewajiban dan tugas pekerjaannya masing-masing dalam mencapai tujuan. Dalam menjalankan tugas pekerjaannya selalu berpatokan pada nilai-nilai hukum dan peraturan yang berlaku. Dalam birokrasi juga mengatur tentang pembagian kekuasaan (otoritas) dalam menjalankan roda pemerintahan.
Pada sisi lain, birokrasi pemerintah sering diartikan sebagai “officialdom” atau kerajaan pejabat (Thoha, 2003: 68); sebuah kerajaan (raja) di dalamnya memiliki yuridiksi yang jelas dan pasti. Dalam yuridiksi tersebut, seseorang mempunyai tugas dan tanggung jawab resmi (official duties) yang memperjelas batas-batas kewenangan pekerjaannya. Mereka bekerja dalam tatanan pola hierarki sebagai perwuju dan dari tingkat anotoritas dan kekuasaannya. Dalam aplikasi nya penerapan birokrasi tidak berjalan mulus sebagaimana teorinya. Di dalamnya terdapat banyak rintangan-rintangan, sehingga birokrasi hanya sebagai kedok untuk menutupi kepentingan-kepentingan aparatur yang berperilaku menyimpang. Indonesia misalnya, semakin sulit untuk mewujudkan good governance, yang terjadi selama ini governance sektor publik yang intervensinya justru mengeroposkan governance di sektor swasta. Sejak pertengahan tahun 80-an, dengan apa yang disebut “crony capitalism” (Miftah Thoha, 1999: 67) atau transaksi ekonomi KKKN (Kolusi,Korupsi,Kronisme,danNepotisme).
Carl J. Bellone (1980: 285) menyebutkan bahwa birokrasi adalah: an organizational structure characterized by hierarchical arrangement of office, merit-based selection, impartial application of written rules and regulations, and some centralization of authority. Birokrasi merupakan karakteristik struktur organisasi (pemerintahan) yang memiliki urutan hierarki. Berdasarkan hierarki tersebut di dalamnya terdapat posisi-posisi atau jabatan yang mempunyai kewajiban dan tugas pekerjaannya masing-masing dalam mencapai tujuan. Dalam menjalankan tugas pekerjaannya selalu berpatokan pada nilai-nilai hukum dan peraturan yang berlaku. Dalam birokrasi juga mengatur tentang pembagian kekuasaan (otoritas) dalam menjalankan roda pemerintahan.
Pada sisi lain, birokrasi pemerintah sering diartikan sebagai “officialdom” atau kerajaan pejabat (Thoha, 2003: 68); sebuah kerajaan (raja) di dalamnya memiliki yuridiksi yang jelas dan pasti. Dalam yuridiksi tersebut, seseorang mempunyai tugas dan tanggung jawab resmi (official duties) yang memperjelas batas-batas kewenangan pekerjaannya. Mereka bekerja dalam tatanan pola hierarki sebagai perwuju dan dari tingkat anotoritas dan kekuasaannya. Dalam aplikasi nya penerapan birokrasi tidak berjalan mulus sebagaimana teorinya. Di dalamnya terdapat banyak rintangan-rintangan, sehingga birokrasi hanya sebagai kedok untuk menutupi kepentingan-kepentingan aparatur yang berperilaku menyimpang. Indonesia misalnya, semakin sulit untuk mewujudkan good governance, yang terjadi selama ini governance sektor publik yang intervensinya justru mengeroposkan governance di sektor swasta. Sejak pertengahan tahun 80-an, dengan apa yang disebut “crony capitalism” (Miftah Thoha, 1999: 67) atau transaksi ekonomi KKKN (Kolusi,Korupsi,Kronisme,danNepotisme).
Administrasi negara di Indonesia pada saat
ini lebih tepat dikatakan sebagai alat untuk menegakkan kekuasaan negara bukan
kekuasaan rakyat. Itulah sebabnya realitas administrasi negara saat ini lebih
banyak sebagai gambaran atau lukisan dari pada realitanya. Sehingga diperlukan
pemikiran-pemikiran baru yang dapat meluruskan kembali ke arah pelaksanaan
administrasi Negara yang ideal menuju good governance.
Birokrasi pemerintah yang dipandang perlu
untuk dibangun kembali guna menuju pemerintahan yang adil, bersih, berwibawa,
dan demokratis (good governance).
Sehingga permasalahan-permasalahan
yang perlu dikaji kembali sebagai jalan pemecahannya antaralain:
1. Evaluasi diri terhadap kondisi birokrasi
pemerintah Indonesia saat ini.
2. Adanya perubahan paradigma birokrasi
pemerintah ke arah yang lebih ideal.
3. Repositioning birokrasi pemerintah.
4. Memiliki aparatur pemerintah yang memiliki
komitmen terhadap nilai-nilai, sehingga terjadinya demokratisasi birokrasi.
5. Perananpemerintahdanmasyarakatdalammembangunbirokrasi.
Diharapkan dengan adanya perubahan paradigma pemerintah ke arah birokrasi yang ideal, didukung aparatur pemerintah yang menjunjung tinggi nilai-nilai dan berperilaku positif, adanya komunikasi yang baik antara pemerintah dengan masyarakat, dan ikut berperan di dalamnya, maka good governance dapat diwujudkan.
Diharapkan dengan adanya perubahan paradigma pemerintah ke arah birokrasi yang ideal, didukung aparatur pemerintah yang menjunjung tinggi nilai-nilai dan berperilaku positif, adanya komunikasi yang baik antara pemerintah dengan masyarakat, dan ikut berperan di dalamnya, maka good governance dapat diwujudkan.
· Kondisi Birokrasi Pemerintah SaatIni Kehidupan dan tumbuh kembangnya
birokrasi pemerintah di Indonesia sangat ditentukan oleh percaturan politik
terlebih lagi ketika sehabis dilaksanakan pemilihan umum. Oleh karena itu
birokrasi pemerintah sangat ditentukan oleh kehidupan politik dan pemilunya.
Sejalan dengan pendapat Carl J. Bellone (1946: 34-35) bahwa ilmu pengetahuan
politis adalah induk dari administrasi pemerintahan. Bahkan di kalangan
akademisi beranggapan bahwa administrasi pemerintahan lebih dari sekedar ilmu
pengetahuan politis. Kehidupan modern telah mendorong birokrasi menjadi alat
yang unggul dalam mengatur proses pemerintahan. Kekuasaan birokratis telah
menjadikan lembaga pemerintahan memiliki kapasitas yang luar biasa dan menjadi
sentral untuk mengarahkan energi politis. Sebagai akibatnya,pemerintahan birokratis lebih dari partai politik.
Partai politik didirikan tidak memiliki
keinginan lain, kecuali untuk bisa memerintah negara. Upaya untuk memerintah
itu menurut paham demokrasi dibatasi oleh waktu tertentu dan harus dilakukan
melalui cara pemilihan umum yang dijalankan secara demokratis, jujur, adil,
bebas, rahasia, dan konstitusional. Pemerintah partai politik ini akan
membawahi dan memerintah birokrasi pemerintah yang eksistensinya tidak memalui
pemilihan umum, melainkan melalui jalur karier yang dibinanya dengan cara-cara
merit. Agar supaya profesionalisme birokrasi tidak terganggu dengan silih
bergantinya partai politik, para birokratnya tidak dibenarkan untuk memihak.
Selain itu administrasi negara digambarkan pula sebagai upaya yang lebih concern terhadap “pelaksanaan suatu konstitusi ketimbang membuatnya” (Miftah Thoha, 1999: 46). Ungkapan ini menjelaskan bahwa administrasi negara lebih populer disebut mengutamakan melaksanakan kebijakan ketimbang membuatnya. Proses pembuatan kebijakan publik domain dari wilayah politik. Di wilayah ini partai politik berkiprah menentukan visi politik ke arah mana pemerintahan negara ini dikendalikan. Sedangkan visi politik itu bagaimana mewujudkan diserahkan kepada ahlinya yakni kepada birokrasi pemerintah. Upaya birokrasi melaksanakan kebijakan publik tersebut merupakan wilayah dan domain administrasi negara.
Birokrasi pemerintah saat ini mencerminkan
birokrasi besar yang menekankan pada kewenangan yang tidak didukung dengan
aparatur yang profesional dengan kompetensi yang sesuai dengan bidang fungsi
yang dilaksanakan. Disamping itu Asep Kartiwa (2004: 7) menyatakan bahwa
birokrasi pemerintahan kita belum didukung dengan sistem kepegawaian yang
didasarkan pada sistem merit, dalam kondisi swasta belum dapat menciptakan
lapangan kerja. Pada masa krisis ini birokrasi pemerintah menanggung beban yang
cukup banyak. Sehingga aparatur yang profesional dan memahami paradigma sesuai
dengan konsep birokrasi ideal menjadi kebutuhan yang mendesak.
· Perubahan Paradigma Birokrasi Pemerintah Pembaharuan
dan penyempurnaan birokrasi telah menjadi perhatian serius di negara-negara
berkembang, termasuk negara Indonesia. Bahkan di negara-negara maju sekalipun,
masih merasakan kekurangpuasan peran birokrasi pemerintah, sehingga terus
berupaya untuk mencari identitas baru bagi birokrasinya.
Para pakar administrasi selalu mengamati
adanya alur pikir baru yang ditunjang dengan seperangkat teori yang melahirkan
paradigma baru dalam dunia ilmu administrasi negara. Paradigma baru yang
memandang birokrasi sebagai organisasi pemerintahan tidak lagi semata-mata
hanya melakukan tugas-tugas pemerintahan akan barang-barang publik (public
goods), tetapi juga melakukan dorongan dan motivator bagi tumbuh kembangnya peran serta masyarakat.
Pertumbuhan ciri birokrasi tradisional ke
arah birokrasi modern menjadi suatu kenyataan yang bersifat implikatif. Seiring
dengan berbagai kemajuan dan munculnya kebutuhan aparatur birokrasi yang
profesional, mengakibatkan kebutuhan akan pelayanan juga semakin kompleks,
serta menuntut kualitas pelayanan yang semakin baik. Birokrasi yang berada di
tengah-tengah masyarakat tersebut tidak dapat tinggal diam, tetapi harus lebih
mampu memberikan berbagai pelayanan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Carl J. Bellone (1980: 35) menyebutkan bahwa sejak Thomas Kuhn menerbitkan Struktur Ilmiah, sarjana-sarjana ilmu sosial bergerak cepat untuk menemukan paradigma baru dalam bidang administrasi pemerintahan modern. Ada lima model teori administrasi pemerintahan yang diambil untuk menuju perubahan yang lebih baik berdasarkan pengalaman empiris, yaitu: 1) Model birokratis klasik, yang mempunyai dua komponen basis dasar. Yang pertama adalah struktur atau perancangan suatu organisasi, dan yang kedua adalah pembagian tugas dan pekerjaan yang didesain secara organisatoris; 2) Model neo-birokratis, adalah suatu produk dari era prilaku. Nilai-nilai untuk dicapai biasanya serupa dengan model birokratis klasik, karenanya dalam model neo-birokratis adanya “tujuan”. Model birokratis ini menekankan struktur, kendali, dan prinsip-prinsip administrasi. Unit analisis pada umumnya kelompok kerja, agen, departemen, atau keseluruhan pemerintah. Nilai-nilai untuk dicapai adalah efektivitas, efisiensi, atau ekonomi. Dalam model neo-birokratis, keputusan adalah unit analisa yang umum, dan proses pengambilan keputusan menjadi fokusnya; 3) Model kelembagaan, dalam model kelembagaan ini lebih ditekankan pada bagaimana cara mendisain efisien, efektif, atau organisasi produktif. Dalam model birokrasi kelembagaan tidak hanya mengutamakan rasionalitas, tetapi juga menggantungkan pada nilai-nilai. Keputusan yang diambil birokrasi merupakan tawaran dan kompromi kelompok yang berminat dan menggerakkan pemerintahan secara berangsur-angsur ke arah sasaran hasil. Model ini sungguh-sungguh menjalankan pemerintahan secara demokratis; 4) Model Hubungan antar manusia, model ini merupakan reaksi terhadap model birokratis klasik dan neo-birokratis. Penekanannya pada kendali, struktur, efisiensi, ekonomi, rasionalitas, dan pergerakan hubungan antar manusia. Dalam pergerakan hubungan antar manusia mencerminkan nilai-nilai yang mendasarinya. Nilai-nilai ini meliputi pekerja dan keikutsertaan klien dalam pengambilan keputusan yang dapat mengurangi perbedaan status dan kompetisi hubungan antar pribadi, serta menekankan pada proses keterbukaan, kejujuran, perwujudan diri, dan kepuasan masyarakat, dan 5) Model administrasi pemerintahan baru, dalam model ini birokrat harus mulai bersikap bahwa nilai-nilai yang berbeda perlu mendominasi. Dengan perbedaan tersebut akan membantu perkembangan organisasi demokratis didesentralisasi yang mendistribusikan jabatan dalam pemerintahan yang sesuai. Sasaran hasil dari administrasi pemerintahan baru adalah untuk mengorganisasi, menguraikan, atau membuat organisasi mata-mata yang berfungs imemberi penilaian.
Pendapat di atas sejalan dengan pendapat
Weber sebagai tokoh yang memperkenalkan birokrasi. Weber memandang birokrasi
rasional atau ideal sebagai unsur pokok dalam rasionalisasi dunia modern, yang
baginya jauh lebih penting dari seluruh proses sosial. Diantara yang lain-lain,
proses ini mencakup ketepatan dan kejelasan yang dikembangkan dalam prinsip
memimpin organisasi sosial. Menurut Weber dalam (Miftah Thoha, 2002: 16-17)
menyatakan birokrasi ideal yang rasional itu singkatnya dilakukan dengan
cara-cara sebagai berikut: Pertama, individu pejabat secara personal bebas,
akan tetapi dibatasi oleh jabatannya manakala ia menjalankan tugas-tugas atau
kepentingan individual dalam jabatannya untuk keperluan dan kepentingan
pribadinya termasuk keluarganya; Kedua, jabatan-jabatan itu disusun dalam
tingkatan hierarki dari atas ke bawah dan kesamping. Konsekuensinya ada pejabat
atasan dan bawahan dan ada pula yang menyandang kekuasaan lebih besar dan ada
yang lebih kecil; Ketiga, tugas dan fungsi masing-masing jabatan dalam hierarki
itu secara spesifik berbeda satu sama lainnya; Keempat, setiap pejabat
mempunyai kontrak jabatan yang harus dijalankan. Uraian tugas (job description)
masing-masing pejabat merupakan domain yang menjadi wewenang dan tanggung jawab
yang harus dijalankan sesuai dengan kontrak; Kelima, setiap pejabat diseleksi
atas dasar kualifikasi profesionalitasnya, yang idealnya dilakukan melalui
ujian kompetitif; Keenam, setiap pejabat mempunyai gaji termasuk hak untuk
menerima pensioun sesuai dengan tingkatan hierarki jabatan yang disandangnya.
Setiap pejabat bisa memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya dan jabatannya
sesuai dengan keinginannya dan kontraknya dapat diakhiri dalam keadaan
tertentu; Ketujuh, terdapat struktur pengembangan karier yang jelas dengan
promosi berdasarkan senioritas dan merit sesuao dengan pertimbangan yang
objektif; Kedelapan, setiap pejabat sama sekali tidak dibenarkan menjalankan jabatannya
dan resources intansinya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya; Kesembilan,
setiap pejabat berada di bawah pengendalian dan pengawasan suatu sistem yang
dijalankan secara disiplin.
Sejalan dengan konsep birokrasi ideal di atas, penyelenggaraan birokasi pemerintah Indonesia harus terjadi perubahan paradigma menuju good governance, antaralain:
Sejalan dengan konsep birokrasi ideal di atas, penyelenggaraan birokasi pemerintah Indonesia harus terjadi perubahan paradigma menuju good governance, antaralain:
A. Perubahan paradigma dari orientasi manajemen pemerintahan
yang sarwa negara menjadi berorientasi ke pasar (market). Selama ini manajemen
pemerintahan mengikuti paradigma yang lebih mengutamakan kepentingan negara.
Semuanya bisa ditentukan oleh negara. Kepentingan negara menjadi pertimbangan
pertama dan utama dalam mengatasi segala macam persoalan yang timbul. Orientasi
manajemen pemerintahan diarahkan kepada pasar. Aspirasi masyarakat menjadi
lebih penting artinya untuk menjadi bahan pertimbangan pemerintah.
B. Perubahan paradigma dan orientasi
manajemen pemerintahan yang otoritarian menjadi berorientasi kepada egalitarian
dan demokrasi. Kecenderungan orientasi yang mementingkan aspirasi negara bisa
melahirkan sistem yang bersifat otoritarian. Pendekatan kekuasaan yang
terkonsentrasi pada satu orang cenderung mengabaikan kepentingan rakyat banyak.
Paradigma semacam ini telah banyak ditinggalkan dan diganti dengan paradigma
yang mengutamakan peranan dan kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat menjadi
pertimbangan pertama dan utama jika menginginkan tatanan pemerintahan yang
demokratis.
C. Perubahan paradigma dari sentralisasi
kekuasaan menjadi desentralisasi kewenangan. Selama ini kekuasaan pemerintahan
lebih condong dilakukan secara sentral, seperti yang diuraikan dimuka. Kegiatan
mulai dari perumusan kebijaksanaan dilakukan secara terpusat dan dilakukan oleh
aparat pemerintah pusat.
D. Perubahan manajemen pemerintahan yang hanya menekankan pada
batas-batas dan aturan yang berlaku untuk satu negara tertentu, mengalami
perubahan ke arah boundaryless organization (Ashkenas et al, 1995). Seringkali
dikemukakan bahwa sekarang ini merupakan jamannya tata manajemen pemerintahan
yang cenderung dipengaruhi oleh tata aturan global. Keadaan seperti ini akan
membawa akibat bahwa tata aturan yang hanya menekankan pada aturan nasional
saja kurang menguntungkan dalam percaturan global.
E. Perubahan dari paradigma dari tatanan
administrasi negara yang berorientasi pada paperwork menjadi tatanan
administrasi negara yang paperless (Osborn, 1992). Tata birokrasi pemerintahan
seperti ini membutuhkan kompetensi sumber daya aparatur yang memahami dan mengetrapkan
information technology (Lucas, 1996). Kompetensi inilah yang seharusnya banyak
diwujudkan dalam pendidikan dan pelatihan profesional bagi pegawai-pegawai
pemerintah.
F. Perubahan paradigma dari a low trust
society ke arah high trust society (Fukuyama, 1995). Di dalam masyarakat yang
rendah tingkat kepercayaannya tidak bakal terjadi suasana demokrasi. Birokrasi
pemerintah yang hidup dalam masyarakat seperti ini, akan melahirkan cara-cara
kerja yang tidak demokratis, membatasi ruang gerak, menjauhkan birokrasi dari
interaksi dengan masyarakat, dan membelenggu organisasi dengan serangkaian
aturan-aturan birokrasi. Sebaliknya paradigma baru yang menekankan terhadap
kepercayaan sehingga melahirkan suatu masyarakat yang tinggi tingkat
kepercayaannya akan mampu membuat birokrasi lebih demokratis. Birokrasi seperti
ini akan menciptakan suasana kerja yang lebih fleksibel dan berbasiskan pada
orientasi kelompok kerja dengan lebih memberikan tanggung jawab yang besar pada
tataran organisasi yang paling bawah. Birokrasi pemerintah seperti ini akan
memperlakukan para pegawainya sebagai orang dewasa yang bisa dipercaya untuk
memberikan konstribusi pelayanan kepada masyarakat.
2.3 Prinsip Good Governance
Kunci utama memahami good governance adalah pemahaman atas
prinsip-prinsip di dalamnya. Bertolak dari prinsip-prinsip ini akan didapatkan
tolak ukur kinerja suatu pemerintahan. Baik-buruknya pemerintahan bisa dinilai
bila ia telah bersinggungan dengan semua unsur prinsip-prinsip good
governance. Menyadari pentingnya masalah ini, prinsip-prinsip good governance
diurai satu persatu sebagaimana tertera di bawah ini:
1. Partisipasi Masyarakat (Participation)
Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara
langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan sah yang mewakili
kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan
kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk
berpartisipasi secara konstruktif. Partisipasi bermaksud untuk menjamin agar
setiap kebijakan yang diambil mencerminkan aspirasi masyarakat. Dalam rangka
mengantisipasi berbagai isu yang ada, pemerintah daerah menyediakan saluran
komunikasi agar masyarakat dapat mengutarakan pendapatnya. Jalur komunikasi ini
meliputi pertemuan umum, temu wicara, konsultasi dan penyampaian pendapat
secara tertulis. Bentuk lain untuk merangsang keterlibatan masyarakat adalah
melalui perencanaan partisipatif untuk menyiapkan agenda pembangunan,
pemantauan, evaluasi dan pengawasan secara partisipatif dan mekanisme
konsultasi untuk menyelesaikan isu sektoral.
2. Tegaknya Supremasi Hukum (Rule of Law)
Partisipasi masyarakat dalam proses politik dan perumusan-perumusan kebijakan
publik memerlukan sistem dan aturan-aturan hukum. Sehubungan dengan itu, dalam
proses mewujudkan cita good governance, harus diimbangi dengan komitmen
untuk menegakkan rule of law dengan karakter-karakter antara lain
sebagai berikut: Supremasi hukum (the supremacy of law), Kepastian hukum (legal
certainty), Hukum yang responsip, Penegakkan hukum yang konsisten dan
non-diskriminatif, Indepedensi peradilan. Kerangka hukum harus adil dan
diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk di dalamnya hukum-hukum yang
menyangkut hak asasi manusia.
3. Transparansi (Transparency)
Transparansi adalah keterbukaan atas semua tindakan dan kebijakan yang diambil
oleh pemerintah. Prinsip transparansi menciptakan kepercayaan timbal-balik
antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin
kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai. Tranparansi
dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan,
lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang
berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti
dan dipantau. Sehingga bertambahnya wawasan dan pengetahuan masyarakat terhadap
penyelenggaraan pemerintahan. Meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap
pemerintahan, meningkatnya jumlah masyarakat yang berpartisipasi dalam
pembangunan dan berkurangnya pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan.
4. Peduli pada Stakeholder/Dunia Usaha
Lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahan harus berusaha melayani
semua pihak yang berkepentingan. Dalam konteks praktek lapangan dunia usaha,
pihak korporasi mempunyai tanggungjawab moral untuk mendukung
bagaimana good governance dapat berjalan dengan baik di masing-masing
lembaganya. Pelaksanaan good governance secara benar dan konsisten
bagi dunia usaha adalah perwujudan dari pelaksanaan etika bisnis yang
seharusnya dimiliki oleh setiap lembaga korporasi yang ada didunia. Dalam
lingkup tertentu etika bisnis berperan sebagai elemen mendasar dari konsep CSR
(Corporate Social Responsibility) yang dimiliki oleh perusahaan. Pihak
perusahaan mempunyai kewajiban sebagai bagian masyarakat yang lebih luas untuk
memberikan kontribusinya. Praktek good governance menjadi
kemudian guidence atau panduan untuk operasional perusahaan, baik
yang dilakukan dalam kegiatan internal maupun eksternal perusahaan. Internal
berkaitan dengan operasional perusahaan dan bagaimana perusahaan tersebut
bekerja, sedangkan eksternal lebih kepada bagaimana perusahaan tersebut bekerja
dengan stakeholder lainnya, termasuk didalamnya publik.
5. Berorientasi pada Konsensus (Consensus)
Menyatakan bahwa keputusan apapun harus dilakukan melalui proses musyawarah
melalui konsesus. Model pengambilan keputusan tersebut, selain dapat
memuaskan semua pihak atau sebagian besar pihak, juga akan menjadi
keputusan yang mengikat dan milik bersama, sehingga ia akan mempunyai kekuatan
memaksa (coercive power) bagi semua komponen yang terlibat untuk
melaksanakan keputusan tersebut. Paradigma ini perlu dikembangkan dalam konteks
pelaksanaan pemerintahan, karena urusan yang mereka kelola adalah
persoalan-persoalan publik yang harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat.
Semakin banyak yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan secara
partisipasi, maka akan semakin banyak aspirasi dan kebutuhan masyarakat yang
terwakili. Tata pemerintahan yang baik menjembatani kepentingan-kepentingan
yang berbeda demi terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa yang
terbaik bagi kelompok-kelompok masyarakat, dan bila mungkin, konsensus dalam
hal kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur.
6. Kesetaraan (Equity)
Kesetaraan yakni kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan. Semua warga
masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan
mereka. Prinsip kesetaraan menciptakan kepercayaan timbal-balik antara
pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan
di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai. Informasi adalah suatu
kebutuhan penting masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan daerah.
Berkaitan dengan hal tersebut pemerintah daerah perlu proaktif memberikan
informasi lengkap tentang kebijakan dan layanan yang disediakannya kepada
masyarakat. Pemerintah daerah perlu mendayagunakan berbagai jalur komunikasi
seperti melalui brosur, leaflet, pengumuman melalui koran, radio serta
televisi lokal. Pemerintah daerah perlu menyiapkan kebijakan yang jelas tentang
cara mendapatkan informasi
7. Efektifitas dan Efisiensi (Effectiveness
and Efficiency)
Untuk menunjang prinsip-prinsip yang telah disebutkan di atas,
pemerintahan yang baik dan bersih juga harus memenuhi
kriteria efektif dan efisien yakni berdaya guna dan berhasil-guna.
Kriteria efektif biasanya di ukur dengan parameter produk yang dapat
menjangkau sebesar-besarnya kepentingan masyarakat dari berbagai kelompok dan
lapisan sosial. Agar pemerintahan itu efektif dan efisien, maka para pejabat
pemerintahan harus mampu menyusun perencanaan-perencanaan yang sesuai dengan
kebutuhan nyata masyarakat, dan disusun secara rasional dan terukur.
Dengan perencanaan yang rasional tersebut, maka harapan partisipasi
masyarakat akan dapat digerakkan dengan mudah, karena
program-program itu menjadi bagian dari kebutuhan mereka. Proses-proses pemerintahan
dan lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan
dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin.
8. Akuntabilitas (Accountability)
Akuntabilitas adalah pertangungjawaban pejabat publik terhadap masyarakat yang
memberinya kewenangan untuk mengurusi kepentingan mereka. Para pengambil
keputusan di pemerintah, sektor swasta dan organisasi-organisasi masyarakat
bertanggung jawab baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang
berkepentingan. Bentuk pertanggungjawaban tersebut berbeda satu dengan lainnya
tergantung dari jenis organisasi yang bersangkutan. Instrumen dasar
akuntabilitas adalah peraturan perundang-undangan yang ada, dengan komitmen
politik akan akuntabilitas maupun mekanisme pertanggungjawaban, sedangkan
instrumen-instrumen pendukungnya adalah pedoman tingkah laku dan sistem
pemantauan kinerja penyelenggara pemerintahan dan sistem pengawasan dengan
sanksi yang jelas dan tegas.
9. Visi Strategis (Strategic Vision)
Visi strategis adalah pandangan-pandangan strategis untuk menghadapi masa
yang akan datang. Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang
luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan
manusia, serta kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan
perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga harus memiliki pemahaman atas
kompleksitas kesejarahan, budaya dan sosial yang menjadi dasar bagi perspektif
tersebut.
2.4 Penerapan Good Governance di
Indonesia
Good Governance diIndonesia sendiri
mulai benar – benar dirintis dan diterapkan sejak meletusnya era Reformasi yang
dimana pada era tersebut telah terjadi perombakan sistem pemerintahan yang
menuntut proses demokrasi yang bersih sehingga Good Governance merupakan
salah satu alat Reformasi yang mutlak diterapkan dalam pemerintahan baru. Akan
tetapi, jika dilihat dari perkembangan Reformasi yang sudah berjalan selama 12
tahun ini, penerapan Good Governance diIndonesia belum dapat
dikatakan berhasil sepenuhnya sesuai dengan cita – cita Reformasi sebelumnya.
Masih banyak ditemukan kecurangan dan kebocoran dalam pengelolaan anggaran dan
akuntansi yang merupakan dua produk utama Good Governance.
Akan tetapi, Hal tersebut tidak berarti gagal
untuk diterapkan, banyak upaya yang dilakukan pemerintah dalam menciptaka
iklim Good Governance yang baik, diantaranya ialah mulai
diupayakannya transparansi informasi terhadap publik mengenai APBN sehingga
memudahkan masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam menciptakan kebijakan dan
dalam proses pengawasan pengelolaan APBN dan BUMN. Oleh karena itu, hal
tersebut dapat terus menjadi acuan terhadap akuntabilitas manajerial dari
sektor publik tersebut agar kelak lebih baik dan kredibel kedepannya. Undang-undang,
peraturan dan lembaga – lembaga penunjang pelaksanaan Good
governance pun banyak yang dibentuk.
Hal ini
sangatlah berbeda jika dibandingkan dengan sektor publik pada era Orde Lama
yang banyak dipolitisir pengelolaannya dan juga pada era Orde Baru dimana
sektor publik di tempatkan sebagai agent of development bukannya
sebagai entitas bisnis sehingga masih kental dengan rezim yang sangat
menghambat terlahirnya pemerintahan berbasis Good Governance.
Diterapkannya Good
Governance diIndonesia tidak hanya membawa dampak positif dalam sistem
pemerintahan saja akan tetapi hal tersebut mampu membawa dampak positif
terhadap badan usaha non-pemerintah yaitu dengan lahirnya Good Corporate
Governance. Dengan landasan yang kuat diharapkan akan membawa bangsa Indonesia
kedalam suatu pemerintahan yang bersih dan amanah.
BAB III
Pengertian Good Governance adalah suatu
peyelegaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang
sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah
alokasi dana investasi dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun secara
administratif menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal dan
politican framework bagi tumbuhnya aktifitas usaha.
Membangun Birokrasi Pemerintah
Menuju Good Governance, Saat ini, good governance
merupakan isu yang mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik. Good
Governance adalah koordinasi bahkan sinergi kepengelolaan yang baik antara
governance di sektor publik (pemerintahan) dengan governance di sektor
masyarakat, terutama swasta, sehingga dapat dihasilkan transaksional output
melalui mekanisme pasar yang paling ekonomis dari kegiatan masyarakat. Oleh
karena itu, dalam good governance tidak saja dituntut suatu birokrasi publik
yang efisien dan efektif, melainkan juga private sector governance yang efisien
dan kompetitif.
Penerapan Good Governance di
Indonesia Good
Governance diIndonesia sendiri mulai benar – benar dirintis dan diterapkan
sejak meletusnya era Reformasi yang dimana pada era tersebut telah terjadi
perombakan sistem pemerintahan yang menuntut proses demokrasi yang bersih
sehingga Good Governance merupakan salah satu alat
Reformasi yang mutlak diterapkan dalam pemerintahan baru. Akan tetapi, jika
dilihat dari perkembangan Reformasi yang sudah berjalan selama 12 tahun ini,
penerapan Good Governance diIndonesia
belum dapat dikatakan berhasil sepenuhnya sesuai dengan cita – cita Reformasi
sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Bryant, C. dan White, L.G. 1989. Manajemen Pembangunan
untuk Negara Berkembang. LP3ES. Yogyakarta.
Komentar
Posting Komentar