Sejarah Syariat Islam di Aceh
Sejarah Syariat Islam di Aceh
1. Coba rangkumkan 3
bab / judul yang sudah di pelajari dan apa saja poin-poin yang disampaikan /
dijelaskan oleh dosen?
Jawab:
BAB
I
Judul : Sejara dan Pelaksanaan Syariat Islam Di Aceh
Sejarah
Syariat Islam di Aceh
Syariat islam sudah
di terapkan sejak Aceh masih dalam bentuk kerajaan. Ulama merupakan ujung
tombak pelaksanaan hukum tanpa harus meminta persetujuan dari penguasa.
Pengadialn di bentuk di tingkat daerah dan di teruskan ke pusat jika terdakwa
mengajukan banding. Beberapa hukum yang di laksanakan di antaranya rajam bagi
pelaku zina dan denda dengan membayar diyat oleh pelaku pembunuhan sengaja.
Masa orde lama dan orde baru tidak ada pelaksanaan syariat resmi dari
pemerintah. Syariat dilaksanakan sendiri oleh masyarakat di tingkat gampong.
Pemerintah memahami betul sikap orang Aceh yang menjunjung tinggi syariat islam
sehingga digunakan sebagai senjata politik untuk menarik simpati rakyat dan
berhasil.
Setelah Aceh diberikan status otonomi khusus tahun 2001, pemerintah
mencanangkan syariat islam secara kaffah khusus wilayah Aceh. Syariat islam
secara kaffah di artikan pelaksanaan hukum syariah secara sempurna oleh
pemrintah daerah. Beberapa lembaga yang di bentuk untuk menjalankannya yaitu,
dinas syariat islam yang mempunyai tanggung jawab utama pelaksanaan hukum
syariah, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) sebagai lembaga independen yang
bertugas memberikan masukan dan kritikan terhadap jalannya hukum syariat, dan
polisi wilayatul hisbah yang bertugas mensosialisasikan qanun, menangkap
pelanggar qanun serta menghukum pelaku yang melanggar syariat.
Ø Penerapan Syariat Islam Di Aceh
Syariat islam telah
berlaku di aceh sejak zaman sebelum kemerdekaan Indonesia, bahkan sejak
kerajaan islam pertama di aceh. Baru, setelah konflik yang berkepanjangan
terjadi di aceh, penerapan syariat Islam di Aceh secara de facto dan de
jure terwujud, yaitu didasarkan atas UU No. 44 tahun 1999 dan UU No. 18
tahun 2001.Dalam rangka pelaksanaan syariat islam di aceh, maka dilakukan
penulisan rancangan qanun aceh tentang pelaksanaan aspek-aspek syariat islam
sebagai upaya melahirkan hukum positif aceh menjadi intensif setelah kehadiran
UU No. 18 tahun 2001.
Lembaga yang terkait penerapan syariat islam di aceh yaitu :
a. Dinas syariat
islam.
b. Majelis
permusyawaratan ulama (MPU)
c. Wilayatul
hisbah (WH)
BAB II
Judul : landasan
Berlakunya Syariat Islam Di Aceh
landasan Historis
terdiri atas dua suku kata
yaitu Landasan dan Historis. Menurut kamus Umum Bahasa
Indonesia kata Landasan berasal dari kata landas yang berakhiran an yang
berarti alas, dasar, paron, besi yang menempa, bukti (keterangan) untuk
menguatkan suatu keterangan. Sedangkan kata Historis diambil dari kata plural
(jamak) bahasa inggris History yang berarti segala hal yang berkenaan
dengan sejarah dan masa lalu. Jadi, dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa
landasan historis adalah segala bukti sejarah yang bersifat mendukung dan dapat
dijadikan sebagai alasan dasar dari suatu permasalahan. Yang menjadi
permasalahan dari landasan historis ini adalah pelaksaan Syari’at Islam di Aceh.
Sebagaimana diketahui Aceh adalah daerah yang memiliki pengalaman sejarah
seperti yang telah disebutkan di atas dalam penyesuaiannya sudah relatif sangat
lentur dengan budaya lokal dan dapat menjadi tempat untuk pelaksanaan Syariat
Islam secara kaffah. Aceh dalam sejarahnya yang panjang, juga
memiliki pasang surut dan dikagumi oleh kawan dan lawan.
Landasan Filosofis Dalam Penerapan Syari’at Di Aceh
Secara Bahasa, Kata filsafat berasal dari kata dalam bahasa
Yunani Filosofia, yang berasal dari kata kerja Filosofien yang
berarti mencintai kebijaksaan. Kata tersebut juga berasal dari kata dalam
bahasa YunaniPhilosophis yang berasal dari kata Philein yang
berarti mencintai, atau Philia yang berarti cinta, dan
kata Sophiayang berarti kearifan atau kebijaksaan. Dari kata tersebut
lahirlah kata inggris Philosophy yang biasanya diterjemahkan sebagai
cinta kearifan. Menurut Al Farabi filsafat adalah ilmu yang menyelidiki hakikat
yang sebenarnya dari segalanya yang ada (al ilm bil maujudat bi ma hiya al
maujudat). Jadi, dapat disimpulkan bahwa landasan filosofis adalah
segala bukti filosofis yang bersifat mendukung dan dapat dijadikan sebagai
alasan dasar dari suatu permasalahan. Yang menjadi permasalahan dari landasan
filosofis ini adalah pelaksaan Syari’at Islam di Aceh.
Landasan ini adalah dasar filsafat atu pandangan, atau ide yang menjadi dasar
cita-cita sewaktu menuangkan hasrat dan kebijaksanaan (pemerintah) ke dalam
suatu rencana atau draf peraturan Negara. Falsafah dan pandangan hidup suatu
bangsa tiada lain berisi nilai-nilai moral dan etika dari bangsa tersebut. Hal
ini bertujuan supaya nilai filosofi bangsa tersebut tidak bertentangan dengan
kaidah hukum dan norma yang ada dalam bangsa tersebut. Bahwasanya kedudukan
Pancasila dalam Qanun Aceh merupakan sebagai sumber hukum yang
menjadi Filosofi Qanun Aceh yang sebagai upaya pengharmonisasian antara
Peraturan nasional denganQanun Aceh yang berlaku hanya di Aceh.
Kedudukan Pancasila sebagai landasan filosofi dalam Qanun Aceh
merupakan norma hukum yang di cita-citakan oleh
masyarakat. Qanun dapat dijadikan sebagai keinginan kolektif
masyarakat Aceh dalam melaksanakan kehidupan sehari-hari, dengan melalui
pelaksanaan Qanun diharapkan masyarakat Aceh bisa merasakan hukum
yang dicita-citakan selama ini. Adapun dasar pembentukan Qanun Aceh
adalah berdasarkan filosofi yaitu keberadaan masyarakat Aceh yang meyakini
keberadaan bumi ini tidak terlepas dari aturan-aturan (hukum) yang ditetapkan
oleh Allah SWT. Dalam tatanan hidup bernegara di Indonesia hal ini dengan
jelas diatur dalam Pancasila yang sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha
Esa. Dari pada itu, keberadaan Qanun Aceh di Negara Kesatuan Indonesia adalah
merupakan kesadaran masyarakat Aceh sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa
sebagaimana yang telah disebutkan dalam sila pertama Pancasila, dan oleh karena
itu pula adanya pengakuan terhadap Qanun Aceh sebagai peraturan dalam
melaksanakan Syari‘at Islam.
Landasan Yuridis Dalam Penerapan Syari’at Islam Di Aceh
Menurut bahasa,
Yuridis dapat juga diartikan Rechtens yang berarti segala hal yang
berdasarkan hukum, menurut hukum. Jadi dapat disimpulkan bahwa landasan yuridis
adalah segala bukti yang yuridis atau berdasarkan hukum yang bersifat
mendukung dan dapat dijadikan sebagai alasan dasar dari suatu permasalahan.
Yang menjadi permasalahan dari landasan Yuridis ini adalah pelaksaan Syari’at
Islam di Aceh itu sendiri. UU No. 44 Tahun 1999 dan UU 18 tahun 2001
merupakan dasar yuridis kuat bagi tegaknya pelaksanaan syariát Islam secara
kaffah di Nanggroe Aceh Darussalam. Sebelum melahirnya kedua undang-undang ini
masyarakat Aceh melaksanakan syariát Islam secara terbatas terutama dalam
bidang hukum keluarga dan sebagian kecil bidang muámalah seperti wakaf, hibah,
sadakah dan wasiat. Sedangkan dalam bidang hukum publik dan bidang muámalah
lainnya hampir sama sekali tidak tersentuh. Oleh karena itu, keberadaan undang-undang
UU No. 44 Tahun 1999 dan UU 18 tahun 2001 merupakan moment penting dalam rangka
menjadikan hukum Islam sebagai hukum yang hidup (living law) di Aceh. Artinya,
keberadaan hukum Islam tidak akan bermasalah dengan hukum nasional yang berlaku
di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dari beberapa Qanun
yang pernah dihasilkan oleh Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
bersama DPRD Nanggroe Aceh Darussalam kelihatannya belum seluruhnya
mencerminkan nilai sosiologis dan kerangka kontekstual. Klausul yang dirumuskan
dalam Qanun masih sangat normatif sebagaimana yang terdapat dalam aturan fiqh
klasik dan kering dengan nuansa sosiologis. Dugaan yang sumir ini barangkali
berangkat dari kenyataan bahwa pemahaman fiqh tradisional masih sangat mendominasi
pemikiran hukum Islam di Aceh saat ini.
Sebagai contoh dalam Qanun No 11 Tahun 2002 tentang pelaksanaan Syariát Islam
bidang Akidah, Ibadah, dan Syiar Islam disebutkan bahwa orang Islam yang
melakukan pindah agama diancam dengan hukuman bunuh. Ancaman pidana yang
dirumuskan dalam Qanun ini ternyata tidak secara komprehensif melihat konteks
sosial ketika ancaman pidana bunuh disyariátkan. Akibatnya, Qanun No 11 Tahun
2002 akan mengancam hukuman bunuh bagi orang Islam yang pindah agama di Aceh.
Padahal bila diteliti konteks sosiologis ternyata hukuman bunuh bagi orang
Islam yang pindah agama memiliki keterkaitan dengan peristiwa orang Islam yang
keluar dari pasukan dan bergabung dengan musuh (desertir). Jadi, ancaman bunuh
bukan semata-mata ditujukan karena keluar dari Islam, akan tetapi karena ada
unsur desertirnya. Al-Qurán mengakui adanya kebebasan beragama, dan menghargai
orang yang berbeda agama.
BAB III
Judul : kewenangan
mahkamah syariah
A. Pengertian Mahkamah Syar’iyah
Mahkamah Syar'iyah adalah salah satu Pengadilan Khusus yang berdasarkan Syariat
Islam di Provinsi Aceh sebagai pengembangan dari Peradilan Agama. Mahkamah
Syar'iyah terdiri dari Mahkamah Syar'iyah Provinsi dan Mahkamah Syar'iyah
(tingkat Kabupaten dan Kota). Kekuasaan dan Kewenangan Mahkamah Syar’iyah dan
Mahkamah Syar’iyah Provinsi adalah kekuasaan dan kewenangan Pengadilan Agama
dan Pengadilan Tinggi Agama ditambah dengan kekuasaan dan kewenangan lain yang
berkaitan dengan kehidupan masyarakat dalam bidang ibadah dan Syariat Islam
yang ditetapkan dalam Qanun.
B. Sekilas Tentang Mahkamah Syar’iyah
Pada masa reformasi lahirnya UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otomi Khusus, telah
memberikan hak bagi Prov. NAD untuk membentuk Peradilan Syari’at Islam yang
dilaksanakan oleh Mahkamah Syar’iyah dalam melengkapi dan mendukung pelaksanaan
syari’at Islam di NAD secara lebih sempurna.
Hak dan kesempatan untuk membentuk Peradilan Syari’at Islam adalah
satu kekhususan yang diberikan kepada NAD yang berbeda dengan daerah-daerah
lainnya sebagai bagian dari pelaksanaan otonomi khusus.
Menindaklanjuti amanat UU No. 18 Tahun 2001 tersebut pemerintahan
Prov. NAD telah mengeluarkan Qanun No. 10 Tahun 2002 tentang peradilan Syari’at
Islam yang disahkan pada tanggal 14 Oktober 2002 M/7 Sya’ban 1423 H.
Dari beberapa pilihan yang mungkin dilakukan mengenai format Peradilan Syari’at
Islam dengan berbagai pertimbangan disepakati untuk tidak membentuk lembaga
baru, tapi mengembangkan Peradilan Agama yang sudah ada menjadi Mahkamah
Syar’iyah. Pilihan ini dapat kita lihat dari bunyi Qanun No. 10 Tahun 2002 ayat
3 yang berbunyi : “Mahkamah Syar’iyah sebagai mana dimaksud pada ayat 1
merupakan pengembangan dari Peradilan Agama yang sudah ada”.
C. Kewenangan Peradilan Agama
Di lingkungan Peradilan Agama terdapat dua tingkat Pengadilan, yaitu Pengadilan
Agama sebagai pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama sebagai
Pengadilan Tingkat Banding.
Pengadilan Agama sebagai pengadilan tingkat pertama, berwenang
mengadili perkara perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah serta wakaf dan
shadaqah. Sedangkan Pengadilan Tinggi Agama berwenang mengadili perkara
tersebut untuk tingkat banding atau tingkat kasasi. Pasal 2 Undang-Undang No. 7
Tahun 1989.
Peradilan Agama merupakan salah satu
pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang
beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam
Undang-undang ini.
Dari pasal tersebut ditentukan bahwa Peradilan Agama ditentukan untuk rakyat
pencari keadilan yang beragama Islam. Ini sesuai dengan asas Personalitas
KeIslaman.
D. Tugas Dan Wewenang Mahkamah Syar’iyah
Menurut Undang-Undang Nomor 18 tahun 2001, Mahkamah Syar’iyah terdiri atas
Mahkamah syar’iyah kabupaten dan Mahkamah syar’iyah Provinsi. Sedang Mahkamah
Syar’iyah tingkat kasasi dilakukan pada Mahkamah Agung. Kewenangan Mahkamah
Syar’iyah ialah megadili dan memutuskan perkara-perkara bagi orang Aceh yang
beragama Islam dalam bidang Al-Ahwal al-sakhshiyah,mu’amalat dan jinayah.
Dalam menjalankan tugasnya Mahkamah Syar’iyah di dukung oleh
lembaga Dinas Syari’at Islam Aceh, WH (wilayatul hisbah), dan Majelis
Permusyawaratan Ulama Aceh.
Dengan kehadiran Mahkamah Syar’iyah maka lembaga peradilan agama tidak lagi
terlalu di perlukan di Aceh, karena kewenangannya akan tumpang tindih dengan
Mahkamah Syar’iyah, sedang lembaga peradilan umum tetap diperlukan untuk
menangani sengketa antara orang-orang yang tidak beragama Islam.
E. Kesimpulan
Mahakamah Syar’iyah merupakan peradilan agama yang berlaku untuk orang Aceh
khususnya yang beragama Islam. Kewenangan mahkamah syar’iyah seperti yang di
jelaskan dalam pasal 3A undang-undang nomor 3 tahun 2006 tidak lagi
terbatas dalam bidang perdata, tetapi juga mencakup di bidang mu’amalah dan
jinayah. Sebagai sistem dari lembaga peradilan Indonesia, mahkamah memiliki 2
kompetensi dasar, yaitu : wewenang peradilan agama dan sebahagian peradilan
umum.
Sejauh ini, kewenangan mahkamah syar’iyah sudah sangat luas tetapi
masih banyak masyarakat yang belum mengetahui akan hal itu. Masyarakat
menganggap mahkamah syar’iyah sebagai tempat melakukan perceraian,
pembagian warisan dan lainnya yang bersangkutan dengan sengketa keluarga.
Walaupun sudah banyak di keluarkan qanun dengan harapan qanun tersebut di
patuhi oleh masyarakat, tapi kenyataanya yang terjadi semakin banyak qanun yang
di keluarkan semakin banyak pula pelanggaran yang terjadi. Hali ini terjadi karena
qanun yang di buat tidak sesuai atau bertentangan dengan hukum negara dan tidak
bisa di terima dalam kehidupan masyarakat. Inilah keadaan hukum syari’at
Islam yang berlaku di Aceh saat sekarang ini menurut pemakalah. Wallahu’alam.
2. Bagaimana pandangan ulama dayah
dan ulama akademisi / kampus tentang penerapan syariat islam di Aceh sekarang,
dan adakah perbedaan (pemahaman) di anrata keduanya ?
Jawab :
Berbicara masalah Ulama juga berbicara masalah personal, ”Ulama” dari segi Bahasa
merupakan orang yang memiliki Ilmu (Ilmu Agama). Secara Panggilan dan tingkatan
pengakuan terhadap Ulama di Aceh adalah ”Teungku”. Panggilan Teungku diberikan
untuk orang-orang yang memiliki pengatahuan Agama, Berakhlak mulia dan pada
waktu tertentu pergi ”Meudagang” (menuntut Ilmu) disalah satu Dayah (lembaga
pendidikan Islam tradisional) yang biasanya jauh dari kampung halaman. Namun
yang paling penting adalah adanya pengakuan dari masyarakat. Ulama Dayah
identik dengan pemimpin Pesantren/ Dayah, bedanya adalah ”Ulama” adalah mereka
yang lulusan Dayah yang kemudian bekerja di sektor non- pesantren. Dan ”Ulama
dayah” merupakan mereka yang lulusan Dayah kemudian menjadi Ulama muda yang
mendirikan Dayah/ pesantren dilingkungan asalnya. Predikat status ulama akan
meningkat apabila Dayah yang dibangunnya terus berkembang dan memiliki santri/
didikan yang terus bertambah. Dayah disini dikategorikan sebagai pesantren yang
diklaim sebagai lembaga pendidikan traditional.
Penerapan dan pelembagaan syaiat Islam dalam bingkai hukum legalitas fomal di
Aceh bukanlah hal yang baru. Ia telah ada dalam tradisi masyarakat yang turun
temurun. pelembagaan syariat Islam dengan alasan-alasan yang selama ini
disampaikan oleh sebahagian orang adalah alasan yang tidak masuk akal. Ada dua
kemungkinan kenapa sebahagian orang ini selalu menolak produk-produk hukum yang
berbau syariat. Yang pertama ketidak fahaman mereka bahwa syariat adalah produk
Allah yang diturunkan melalui nabi Muhammad SAW dan kemudian diterjemahkan oleh
para ulama salafus salihin yang kebenarannya lebih kuat berbanding produk hukum
manusia yang dibuat penuh dengan nafsu dan kepentingan. Dan yang kedua, mungkin
saja mereka tahu bahwa hukum syariat lebih dekat kepada kebenaran, tapi hati
mereka telah berpaling jauh dari kebenaran itu sendiri. Mereka telah terjebak
dalam opini yang dikembangkan oleh orang yang anti terhadap syariat Islam, yang
seolah-olah Islam itu kejam. Atau bahkan lebih jauh lagi kadang-kadang mereka
telah menjadi kaki tangan orientalis di mana pikiran mereka telah diracuni
dengan gagasan-gagasan yang bersumber dari musuh Islam itu.
Bahwa syariat Islam yang berlaku di Aceh, adalah suatu produk hukum yang dibuat
untuk mengatur kehidupan masyarakat muslim di Aceh. Sudah tentu hal ini tidak
akan sejalan dengan kehidupan masyarakat non muslim di barat, termasuk dengan
masyarakat Aceh yang mengagung-agungkan norma hukum idola mereka yang non
muslim. Adalah suatu kekeliruan besar, jika kita menilai Islam dengan
perspektif barat. Orang barat menilai Islam dengan perspektif non Islam, yang
pada dasarnya memiliki tendensi untuk merusak akidah Islam. Saya tidak bisa
yakin bahwa studi-studi tentang Islam yang dilakukan oleh mereka bertujuan
hanya untuk kepentingan ilmiah saja. Maka kita jangan mudah terjebak dalam
opini-opini yang mereka kembangkan yang seolah-olah mereka mengkaji Islam untuk
tujuan kejujuran ilmiah.
kondisi aceh sudah mulai kondusif serta di barengi dengan adanya suatu aturan
baru yaitu Penerapan syariat Islam yang berdasarkan UU No. 44 tahun 1999 dan UU
No. 18 tahun 2001, tentang Penyelenggaraan Syari’at Islam merupakan sebuah
nilai yang lazimnya dimiliki masyarakat muslim khususnya Aceh. Keistimewaan
Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Pemberian otonomi khusus bagi Aceh mengukuhkan klaim tentang keistimewaan
daerah ini dibanding wilayah-wilayah lain di Indonesia. Empat keistimewaan Aceh
adalah keistimewaan dalam kehidupan beragama, pendidikan, adat, (peran) ulama.
Dan terakhir disempurnakan dengan UU No.11/2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Menurut Tgk
Hasanuddin Yusuf Adan, sebelum lahir undang-undang nomor 44 tahun 1999 peran
ulama dalam mengimplementasikan syariat Islam adalah sebagai panggilan hati
nurani yang bertanggung jawab hanya kepada Allah semata. Tidak ada kewajiban
atas ulama yang dibebankan oleh negara yang berkenaan dengan pelaksanaan
syariat Islam di Aceh. Namun setelah keluarnya undang-undang 44 tahun
1999 ulama memiliki tanggung jawab terhadap negara dalam urusan agama, yaitu
memberikan pertimbangan kepada pemerintah untuk menentukan kebijakan Daerah.
Salah satu hal yang berkenaan dengan kebijakan daerah adalah pelaksanaan
syariat Islam dalam berbagai sisi program kegiatan pemerintah. Setelah syariat
Islam dideklarasikan di Aceh semua program dan kegiatan pemerintah harus
berlandaskan syariat Islam. Dengan demikian ulama tidak hanya memiliki tanggung
jawab kepada Allah tetapi juga harus bertanggung jawab kepada negara dan umat.
Menurut Hasanuddin Yusuf Adan, melihat kedudukan ulama dalam undang-undang ini
adalah kuat dimana ulama sebagai mitra sejajar pemerintah. Dengan demikian
ulama memiliki landasan yang kuat untuk berperan dalam mengimplementasikan
syariat Islam di Aceh. Untuk lebih cepat tegaknya syariat Islam di Aceh
diperlukan kekuatan ulama itu sendiri. Ulama harus tegak mengambil posisi
sehingga dapat dengan tegas memberikan saran kepada pemerintah. Karena
masyarakat Aceh secara umum masih percaya terhadap ulama. Lebih lanjut Hasanuddin
mengatakan, ketika Prof Ali Hasjmy sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia di
Aceh, ia sangat konsisten dalam menegakkan syariat Islam di Aceh, ia selalu
menentang siapa saja yang melanggar syariat Islam.
Undang-undang dan qanun Aceh telah menempatkan kedudukan ulama sebagai mitra
sejajar pemerintah. Meskipun bukan sebagai pelaksana pemerintah, tetapi telah
menjadi catatan sejarah di Indonesia bahwa ulama telah menjadi bahagian dari
sistem ketatanegaraan. Jika undang-undang ini dapat dilaksanakan dengan baik
maka suatu keberanian di zaman modern menempatkan ulama sebagai elemen penting
dalam sistem negara. Sekiranya peran ulama benar-benar dapat diimplementasikan
sebagaimana amanat undang-undang dan qanun, dan ulama memiliki kapasitas ilmu
maka sejarah kejayaan Islam yang pernah terukir dalam sejarah mungkin muncul
kembali di Aceh. Meskipun undang-undang telah mengamanatkan tentang peran
ulama, kemudian dijelaskan dengan qanun propinsi Aceh yang dirincikan
kedudukan, tugas, fungsi dan tanggung jawab ulama. Namun tidaksemua amanat
undangundang dan qanun tersebut itu berjalan dengan normal. Terdapat kendala
dari berbagai sisi dalam pelaksanaan, baik dari sisi teknis pelaksanaan maupun
dari kelengkapan aturan itu sendiri.
Menurut Tgk. Jamaluddin, tidak semua unsur pemerintahan dapat memahami
undang-undang dan qanun tersebut, sehingga tidak semua amanat undang-undang
dapat dijalankan. Di samping dari itu agar amanat undang-undang ini dapat
berfungsi dengan maksimal, maka harus terjadi peningkatan kemampuan ulama yang
sesuai dengan tuntutan zaman. Sehingga ulama memiliki kemampuan menempatkan
diri sebagai salah satu unsur mitra sejajar pemerintah yang memiliki peran.
Menurut Tgk. Ismail Yakob, bahwa peran ulama yang terdapat
dalam undang-undang tidak semua dapat berjalan dengan baik. Hal ini dapat
dimaklumi bahwa ulama dalam kapasitasnya sebagai yang memberikan pertimbangan
telah berupaya secara maksimal memberikan pertimbangan dan nasehat terutama
menyangkut dengan pelaksanaan syariat Islam dan pemerintahan yang bersih dan
Islami. Adapun pertimbangan diberikan oleh ulama kepada pemerintah belum.
Jadi sebenarnya kalau menurut saya tidak ada perbedaan ulama dayah dan ulama
akademisi, Cuma yang membedakannya adalah kalau ulama akadmisi lebih memiliki
tanggung jawab terhadap negara dalam urusan agama, yaitu memberikan
pertimbangan kepada pemerintah untuk menentukan kebijakan Daerah. Salah satu
hal yang berkenaan dengan kebijakan daerah adalah pelaksanaan syariat Islam
dalam berbagai sisi program kegiatan pemerintah. catatan sejarah di Indonesia
bahwa ulama telah menjadi bahagian dari sistem ketatanegaraan. Jika
undang-undang ini dapat dilaksanakan dengan baik maka suatu keberanian di zaman
modern menempatkan ulama sebagai elemen penting dalam sistem negara.
Komentar
Posting Komentar