Dinamika  Demokratisasi Perjanjian Pasca Memorandum of Understanding
( MOU ) Helsinki di Aceh
Ø  Dalam segi ekonomi pada masa MOU Helsinki
            Pada tanggal 15 Agustus 2005, akhirnya tercapai kesepakatan untuk menghentikan konflik antara GAM dan Tentara Republik Indonesia (TNI) dibantu Polisi Republik Indonesia (Polri) di Helsinki, Finlandia. Perundingan yang dimediasi oleh Martti Ahtisaarimantan Presiden Finlandia dan Direktur Crisis Management Initiative menghasilkan sebuah kesepakatan damai yang dikenal dengan nama Memorandum of Understanding (MoU).Perundingan itu tidak hanya menjadi angin segar kedamaian bagi rakyat Aceh, tetapi juga hak-hak rakyat Aceh yang harus dipenuhi oleh pemerintah pusat melalui Pemerintah Propinsi Aceh terkait dengan kejahteraan rakyat Aceh. Ada tiga poin utama dari MoU Helsinki tersebut bagi rakyat Aceh, yaitu, penerapan syari‟at Islam dan Lembaga Wali Nanggroe, pembentukan partai politik lokal, dan pembagian hasil minyak bumi dan gas alam sebesar 70 %. Sementara pihak GAM sendiri bersedia untuk menanggalkan tuntutan merdeka dan bersedia membangun Aceh ke arah yang lebih baik di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

            Tentang Perekonomian di aceh pasal 154 di arahkan untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing demi terwujutnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat dengan menjunjung tinggi nilai islam, keadilan, pemrataan, partisipasi rakyat dan efesiensi dalam pola pembangunn berkelanjutan.

            Sumberdaya alam bidang pertambangan yang terdiri atas pertambangan mineral, batu bara, panas bumi, bidang kehutanan, pertanian , perikanan, dan kelautan yang dilaksanakan dengan menerapkan prinsip transparansi dan pembangunan berkelanjutan.

            Lambatnya pertumbuhan ekonomi di Aceh secara langsung telah berdampak pada meningkatnya angka pengangguran dan merambat pada tingginya angka kemiskinan. Masyarakat Aceh masih jauh dari kesejahteraan, sehingga data terakhir yang diperoleh pakar ekonomi menunjukkan bahwa indeks kemiskinan di Aceh menduduki ”juara” ketiga secara nasional.

            Akan tetapi masalah kemudian muncul saat Presiden Soekarno menetapkan dasar dari Republik Indonesia adalah Pancasila, juga menutup kemungkinan menjadikan Islam sebagaidasar negara. Inilah yang memicu kekecewaan rakyat Aceh karena menganggap Soekarno mengingkari janjinya saat berkunjung ke Aceh guna meminta bantuan rakyat Aceh untuk membantu Republik Indonesia. Gubernur Aceh saat itu, Daud Beureueh bahkan merasa dikecewakan oleh Soekarno.
                       

            Tapi, sudahkah itu terpenuhi? Ternyata itu hanyalah khayalan yang dikemas dalam bentuk janji-janji  yang bisa “menggembirakan” rakyat Aceh, yang hingga hari ini telah dibuai oleh tipuan. Sebut saja butir janji Rp1 juta/per bulan/per kepala keluarga (KK) bagi setiap penduduk Aceh.
            Pembangunan ekonomi yang di cita-citakan oleh mantan GAM saat ini masih sebatas wacana, dan belum ada realitas yang jelas. Banyak hal yang bisa menghambat pembangunan di Aceh umumnya, dan Aceh khususnya, kebanyakan hambatan itu muncul dari tubuh GAM sendiri. Karena ada sebagian mantan GAM yang mengkambing hitamkan pembangunan untuk keperluan pribadi, untuk mendapatkan pemasukan yang lebih. Sebagian mantan kombatan GAM lebih memilih menjadi senator, atau menduduki jabatan Eksekutif dan Keterlibatan mantan-kombatan GAM dalam proses politik lokal yang merupakan langkah penting dalam  proses perdamaian Aceh.
            kesepakatan di bidang ekonomi memberikan kewenangan yang sangat besar bagi pemerintahan Aceh, melebihi atau bertentangan dengan ketentuan yang terdapat dalam UU Otonomi Khusus NAD. Diantaranya yang sangat krusial yaitu Pemerintah Aceh berhak menguasai 70 persen atas semua cadangan hidrokarbon dan sumber daya alam lainnya yang ada saat ini dan di masa mendatang di wilayah Aceh maupun laut teritorial sekitar Aceh. Sejak berlakunya undang-undang Otonomi Khusus NAD dan Papua sebagai daerah khusus mendapat 70 persen dari dana hasil migas, sedangkan pusat memperoleh 30 persen. Yang menjadi persoalan adalah sumber daya lainnya termasuk hasil-hasil perkebunan terutama kelapa sawit apakah pembagiannya tetap harus 70 persen termasuk PPh. Kalau hal itu yang dimaksudkan berarti MoU tersebut telah menggadaikan negara.
            Dapat pemahami bahwa, selama GAM berperan dalam pengambil kebijakan di Aceh  pembangunan yang dilakukan hanya sedikit diakibatkan dari ketidak seriusan GAM dalam membangun Aceh, dalam pembangunan GAM lebih mementingkan kalangannya sendiri dan orang-orang yang dekat dengan pemerintahan. Sehingga peluang pembangunan masyarakat  banyak tidak ada sumber daya yang ada di Aceh sudah dimanfaatkan oleh GAM yang dekat dengan pemerintahan. Pasca GAM menguasai pemerintahan mereka memainkan peran ersazt kapitalism sebagaimana yang dikatakan oleh Yoshihara Kunio “campur tangan pemerintah terlalu banyak” kebijakan dibuat untuk kepentingan kalangan pengambil kebijakan dan  pengusaha dari kalangan mereka.Proyek proyek pembangunan fisik lebih diutamakan dikerjakan oleh kalangan kontraktor dari GAM, hanya beberapa kalangan dari masyarakat biasa yang dapat mengakses proyek pembangunan itu jikalau mereka bisa berpartisipasi dengan kalangan pembuat kebijakan. Seperti proyek pembangunan jembatan Cunda yang dikerjakan oleh Bangun PT. Cipta Konstruksi bersama PT. Pulau Gading yang juga merupakan kontraktor dari GAM.
            Aceh damai itu tidak hanya sekedar tertera di atas kertas dan jargon, tatapi seluruh rakyat harus dapat merasakannya, sekaligus bersama-sama dengan sungguh-sungguh menjaga dan merawat perdamaian itu. Dengan kata lain, tidak boleh terjadi kehidupan damai dinikmati oleh segelintir orang.Selama kemenangan GAM dalam parlemen di Aceh hampir seluruh proyek  pembangunan di Aceh dikuasai oleh GAM, baik proyek yang berbentuk pembangunan infrastruktur maupun proyek pengembangan swadaya masyarakat. merosotnya pembangunan di Aceh salah satu faktor adalah tidak adanya transparansi pembangunan, proyek yang bekerja ditentukan oleh pihak pemerintah kebiasaannya lelang hanya sekedar administrasi pemerintahan, seperti banyak proyek pekerjaan infrastruktur publik di Aceh yang sumber dananya dari APBA, tidak terdapat papan nama proyek, ini menunjukkan bahwa pelaksanaan pembangunan infrastruktur publik tidak transparan berarti ada yang disembunyikan dari pembangunan tersebut.Pasca MoU Helsinki kondisi ekonomi masyarakat Aceh diharapkan segera meningkat berbarengan dengan stabilnya kondisi keamanan. Namun begitu, sejak upaya pelaksanaan MoU Helsinki, konflik juga muncul. Hanya saja jenisnya yang berbeda dan bentuknya lain, jenis konflik telah berubah dari konflik vertical, antara pemerintah pusat dengan GAM menjadi konflik horizontal antar komponen masyarakat. Hal ini berkaitan dengan distribusi kompensasi ekonomi bagi mantan anggota GAM dan penguasaan aset-aset ekonomi dan politik oleh para mantan kombatan.
Ø    Apakah pada masa MOU helsinki masyarakat sejahtera
            Sejahtera, ialah selamat, tak kurang satu apapun, aman dan sentosa. Aceh yang sejahtera adalah rakyat yang hidup dan tinggal dalam teritori Aceh, apapun agama, suku dan etnisnya niscya dapat merasakan keselamatan, tak kurang satu apapun, aman dan sentosa  menempuh hari-hari dalam kehidupannya. Hal ini disamping usaha sendiri dengan tekun dan sungguh-sungguh serta taat asas, baik asas negara maupun syari’at Allah, juga bermodalkan sumber daya manusia (SDM) dan sumber daya alam (SDA) harus diusahakan oleh para pemimpin yang sudah mendapat mandat dari rakyat (ulul amri/pejabat publik) mengurus segala hal untuk tugas dan tujuan mensejahterakan rakyat. Dalam konteks MoU Helsinki khususnya, yang selama ini menjadi bahan “tadarusan” para elit politik dan pemimpin di Aceh ada “surah” dan “ayat-ayat” yang menjadi platform dah doktrin mensejahterakan rakyat.
1.      para kombatan dan korban konflik.
            Terdapat dalam “surah” Reintegrasi Kedalam Masyarakat. Dalam “ayat-ayat” dibawahnya antara lain disebutkan; “Pemerintah RI akan mengalokasikan dana bagi rehabilitasi harta benda publik dan perorangan yang hancur atau rusak akibat konflik untuk dikelola oleh Pemerintah Aceh (3.2.4). Pemerintah RI akan mengalokasikan tanah pertanian dan dana yang memadai kepada Pemerintah Aceh dengan tujuan untuk memperlancar reintegrasi mantan pasukan GAM ke dalam masyarakat dan kompensasi bagi tahanan politik dan kalangan sipil yang terkena dampak.
 Pemerintah Aceh akan memanfaatkan tanah dan dana sebagai berikut;
a)        Semua mantan pasukan GAM akan menerima alokasi tanah pertanian yang pantas, pekerjaan atau jaminan sosial yang layak dari Pemerintah Aceh apabila mereka tidak mampu bekerja.
 b)       Semua tahanan politik yang memperoleh amnesti akan menerima alokasi tanah pertanian yang pantas, pekerjaan, atau jaminan sosial yang layak dari Pemerintah Aceh apabila tidak mampu bekerja.
c)        Semua rakyat sipil yang dapat menunjukkan kerugian yang jelas akibat konflik akan menerima alokasi tanah pertanian yang pantas, pekerjaan, atau jaminan sosial yang layak dari Pemerintah Aceh apabila tidak mampu bekerja. Pemerintah Aceh dan Pemerintah RI akan membentuk Komisi Bersama Penyelesaian Klaim untuk menangani klaim-klaim yang tidak terselesaikan.
2.       kesejateraan bagi rakyat keseluruhan
            Betapa indah isi MoU Helsinki berkaitan dengan konsep mensejahterakan rakyat. Insya Allah semua ini akan menjadi kenyataan apabila Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh secara nyata menunjukkan kemauan politik (political will) dan aksi politik (political action). Terutama yang paling berkewajiban dan berkepentingan adalah Pemerintah Aceh dengan karakter tidak sektarian, melindungi dan mengayomi seluruh rakyat, plus anggoga DPR-RI dan DPD-RI mewakili Aceh di Senayan serta DPRA. Sesuai tugas pokok dan fungsi (tupoksi) nya sejatinya menunjukkan senergisitas, bersama-sama, sungguh-sungguh dan pro-aktif terus menerus mendorong Pemerihtah Pusat niscaya membuat instrumet hukum yang diperlukan sebagai asas legalitas implementasi MoU Helsinki dan UUPA.
            Menurut saya, tidak ada gunanya “dikandang”  bertalu-talu dan sahut menyahut berteriak menumpah-ruah kesalahan pada Pemerintah Pusat sekaitan dengan urgenya instrumen hukum sebagai turunan MoU Helsinki dan UUPA.Tetapi semestinya melalui wakil-wakil Aceh di Senayan (DPR dan DPD-RI) yang harus menunjukkan kepiawaian retorika dan argumentasi sebagai wujud nyata upaya memperjuangkan semua aspirasi rakyat Aceh yang diwakilinya. Hal ini juga relevan dan sekaligus merespons semangat, dorongan dan  keinginan cerdas Mendagri melalui statemetnnya; ” Jangan lagi (Masalah Bendera Aceh) yang ditonjol-tonjolkan. Penting betul bendera itu. Menurut saya lebih penting kesejahteraan. Akibat pembahasan politik soal bendera yang berkepanjangan, program kesejahteraan rakyat Aceh terabaikan. Ada rakyat Aceh yang memperhatikan persoalan bendera Aceh, namun lebih banyak yang menginginkan kesejahteraan”
Ø  Eksekutif dan Legislatif pada masa MOU helsinki

            Di Negara Indonesia lembaga legislatif lebih dikenal dengan nama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara. Anggota DPR berasal dari anggota partai politik peserta pemilu yang dipilih berdasarkan hasil pemilu. DPR berkedudukan di tingkat pusat, sedangkan yang berada di tingkat provinsi disebut DPRD provinsi dan yang berada di kabupaten/kota disebut DPRD kabupaten/kota.

            Menurut pandangan bisa kita lihat bahwa pemerintah mencoba membatasi kewenangan Pemerintah Aceh. Upaya untuk membatasi kewenangan ini di tunjukan oleh Pemerintah melalui UUPA. Dalam hal konflik interpretasi antara Pemrintah Pusat dan Pemerintah Profinsi Aceh berlanjut  sampai kepada kebijakan-kebijakan yang ditetapkan setelahnya. Pemerintah pusat merekomendasikan lembaga Wali Nanggroe dan Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 Tentang Bendera dan Lambang Aceh . sikap keegoisan legislatif dan eksekutif hanya akan menimbulkan ketidakharmonisan, yang akhirnya rakyat Aceh lah yang harus dikorbankan.

            Lembaga Wali nanggroe pasal 96 berhak memberikan gelarbkehormatan atau derajat adat kepada perseorangan atau lembaga, baik dalam maupun luar negeri yang kriteria dan tata caranya diatur dengan qanun aceh
Tugas dan Wewenang Wali Nanggroe adalah :
a)  Wali Nanggroe bertugas memimpin lembaga Wali Nanggroe;
b) Wali Nanggroe bertugas membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan       budaya, adat dan adat-istiadat;
c) Wali Nanggroe berwenang memberikan gelar kehormatan dan derajat adat serta berwenang melaksanakan upacara-upacara adat.

               Dalam studi kebijakan publik, hal yang sangat penting untuk diperhatikan adalah bagaimana interaksi aktor antara eksekutif dan legislatif. Interaksi aktor ini      biasanya selalu bermuara pada tarik ulur kepentingan sehingga kebijakan yang dikeluarkan cenderung tidak popular alih-alih berdasarkan kebutuhan rakyat. Untuk kasusAceh,dalam pembuatan kebijakan publik justru menjadi hal menarik karena eksekutif dan legislatif dikuasi oleh elite dari partai politik yang sama. Sehingga, setiap rancangan kebijakan yangdiusulkan oleh eksekutif cenderung akan “di-amin-kan” oleh legislatif.
                         hal ini juga juga disebabkan pada awal masa kerja DPRA lebih banyak menghabiskan waktu dalam peebutan kekuasaan (konflik elit), sehingga tugas-tugas yang menyangkut kehidupan rakyat banyak mulai sedikit terabaikan.
maka dengan ini kami dari Gerakan Mahasiswa Aceh (GMA), mendesak agar Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh agar segera melaksanakan tuntutan kami, dalam Pernyataan Sikap :
1. Menuntut Pemerintah Aceh untuk mengevaluasi Undang – undang Pemerintah Aceh (UUPA) agar sesuai dengan MoU Helsinki.
2. Meminta Pemerintah Aceh agar segera mendesak Pemerintah Pusat (RI) untuk mengeluarkan 8 (Delapan) PP (Peraturn Pemerintah) dan 3 (Tiga) Perpres (Peraturan Presiden) Tentang Kewenangan Aceh.
BandaAceh,18 Januari 2010
Gerakan Mahasiswa Aceh (GMA)
             Padahal kalau UUPA yang sekarang disakralkan, tidak boleh diubah-ubah, maka berbagai hal lain yang merugikan Aceh soal pembagian hasil, soal ganti rugi untuk harta pribadi yang musnah dalam masa konflik, soal hubungan melalui darat dan laut ke seluruh dunia, soal peradilan HAM, KKR, soal peran militer di Aceh, dll.akan turut kekal juga.Kalau UUPA tidak bisa dikutak katik lagi mengapa selalu mengatakan UUPA tidak sesuai dengan MoU Helsinki dan mesti direvisi?See what I mean? Dulu saat isi Pasal 256 UUPA tidak sesuai MoU protes, sekarang sudah disesuaikan malah menolak, seperti sikap Pimpinan tertinggi GAM yang berbalik arah 180 derajat. Bersama dengan elite politik PA dan DPRA, memprotes Judicial Review Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 256 UUPA dengan alasan hilang marwah UUPA bila pasal demi pasal dipreteli satu persatu. Tidak masuk akal, karena Keputusan MK berdasarkan tuntutan penggugat yang menggunakan thema ‘diskriminasi’. MK tidak bisa membatalkan apapun yang tidak bertentangan dengan UUD 1945.“Sebagaimana dalam Pasal 256 ayat 3, bahwa DPRA memiliki peran strategis yang diatur oleh UUPA, untuk terlibat dalam perubahan UUPA.”“Ini membuat PDPA tak akan dapat bekerja. Rekrutmen Dirut baru PDPA hanya menambah persoalan baru. Eksekutif hanya memperpanjang persoalan dan yang dirugikan dalam hal ini adalah Aceh karena tidak bisa berbisnis serta menjalin kerjasama dengan investor,” ujar politisi Partai Aceh ini.

           
               

                

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Lahirnya Sosiologi

Opini Tentang Masalah Sosial dalam Masyarakat

LEMBAGA KEMENTRIAN (WIZARAH AL-TAFWIDH DAN WIZARAH AL-TANFIDZ)