PENGARUH PELAYANAN PUBLIK TERHADAP KEPUASAN MASYARAKAT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Keberhasilan pelaksanaan otonomi
daerah sangat ditentukan oleh kinerja ekonomi dan administrasi pemerintahan.
Masyarakat menilai baik buruknya otonomi daerah berdasarkan baik buruknya
kondisi ekonomi
dan kualitas layanan pemerintah. Pandangan
(2002), memberikan argumen bahwa birokrasi harus melakukan perubahan orientasi
dalam era otonomi dan desentralisasi, yaitu birokrasi harus berorientasi
entrepreneurial competitive government, menempatkan diri sebagai cuostomer-driven dan accountable
government, serta memiliki visi global cosmopolit orientation.
Kualitas layanan lembaga publik
yang semakin baik dan akan meningkatkan kinerja peme-rintahan, dan
meringankan beban masyarakat dalam mengurus kepentingannya. Layanan publik yang
selama ini terjadi di Indonesia baik di tingkat pusat maupun daerah masih dalam
kondisi yang memprihatinkan dan terpuruk, terutama di sektor perekonomian
(Rasyid, 2004).
Masyarakat merasakan layanan yang
diberikan lembaga publik kurang berkualitas (lamban dalam pelayanan, sulit
memperoleh informasi, kurang transparan, dan banyak melakukan kesalahan).
Keluhan lainnya yang dirasakan masyarakat adalah birokrasi yang kaku dan
berbelit-belit, perilaku pegawai yang kurang bersahabat (responsivenes), serta
tidak handal (reliability). Di sisi lain, fasilitas fisik (tangible) seperti
tempat duduk dan tempat sampah yang disediakan relative kurang, sehingga
masyarakat harus rela berdiri menunggu antrian pelayanan. Sampah kecil seperti
putung rokok, sobekan kertas, bungkus permen juga masih terlihat di sekitar
tempat antrian.
Aspek penting lainnya, jaminan (assurance)
yang diberikan pegawai serta kepedulian (emphaty) yang berkaitan dengan
keramahan, komunikasi, dan kemampuan untuk membantu dalam melayani masyarakat
belum optimal. Berdasarkan penelitian Handayanto (2003), birokrasi di Indonesia
berkualitas kurang baik jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya.
Indonesia termasuk di dalam jajaran negara yang memiliki kualitas birokrasi
yang rendah dibanding dengan negara-negara lain di Asia Tenggara.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian
Pelayanan Publik
Layanan publik adalah segala
kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh penyelenggara pelayanan publik
(pemerintah) sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima layanan maupun
pelaksanan ketentuan peraturan perundang-undangan (Direktorat Aparatur
Negara,2004).
Menurut Supriyadi (2004), terdapat
tiga karakteristik utama dalam pelayanan yaitu, intangibility, heteroginity,
dan inseparability. Intangibility berarti bahwa pelayanan pada dasarnya
bersifat performance dan hasil pengalaman, bukannya suatu objek. Kebanyakan
pelayanan tidak dapat dihitung, diukur, diraba atau diuji sebelum disampaikan
untuk menjamin kualitas. Heteroginity berarti bahwa pemakai jasa memiliki
kebutuhan yang sangat heterogen.
Masyarakat dengan pelayanan yang sama mungkin mempunyai prioritas yang berbeda.
Inseparability berarti bahwa produksi dan konsumsi suatu pelayanan tidak
terpisahkan. Konsekuensinya di dalam pelayanan, kualitas tidak direkayasa dan
kemudian disampaikan kepada masyarakat.
2.2. Kepuasan
Masyarakat
Kepuasan masyarakat merupakan faktor
utama yang harus diperhatikan oleh penyedia pelayanan publik, karena kepuasan
masyarakat akan menentukan keberhasilan pemerintah dalam menyelenggarakan
pelayanan publik. Definisi kepuasan masyarakat sering disamaartikan dengan
definisi kepuasan pelanggan atau kepuasan konsumen, hal ini hanya dibedakan
pada siapa penyedia dan apa motif diberikannya pelayanan tersebut. Penyedia
pelayanan di dalam pelayanan publik adalah pegawai instansi pemerintah yang
melaksanakan tugas pelayanan publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang telah diamanatkan dan penerima pelayanan publik adalah orang, masyarakat,
lembaga instansi pemerintah dan dunia usaha, yang memperoleh manfaat dari suatu
kegiatan penyelenggaraan pelayanan publik.
Kepuasan pelayanan berdasarkan
Kep./25/M.PAN/2/2004 yaitu “hasil pendapat dan penilaian masyarakat terhadap
kinerja pelayanan yang diberikan oleh aparatur penyelenggara pelayanan publik”.
Sedangkan Kepuasan pelanggan
dikonseptualisasikan oleh Cadotte, Wooddruff, dan Jenkins (Tjiptono dan
Chandra, 2005, h.197), sebagai “perasaan yang timbul setelah mengevaluasi
pengalaman pemakaian produk”. Kepuasan pelanggan menurut Oliver (Tjiptono dan
Chandra, 2005, h.198), merupakan “evaluasi terhadap suprise yang inheren dalam
pemerolehan dan atau pengalaman konsumsi produk”. Hampir sama dengan Oliver,
menurut Wikie (Tjiptono, 1997, h.24) “kepuasan konsumen merupakan suatu
tanggapan emosional pada evaluasi terhadap pengalaman konsumsi suatu produk
atau jasa”. Hal ini diperkuat oleh Cravens (Bunga, 2009, h.30), bahwa “kepuasan
konsumen dipengaruhi oleh pengiriman produk,
performa produk atau jasa, citra perusahaan/ produk/ merek, nilai harga yang
dihubungkan dengan nilai yang diterima konsumen, prestasi para karyawan,
keunggulan dan kelemahan para pesaing.
2.3. Kualitas
Pelayanan Publik
Menilai kualitas pelayanan publik
bukanlah kegiatan yang sangat mudah khususnya pemberian pelayanan publik yang
bersifat jasa maupun administratif, namun terlepas dari persoalan tersebut
masalah mengenai kualitas pelayanan publik pada saat ini menjadi pusat
perhatian di berbagai Negara demokratis khususnya Indonesia karena pemberian
pelayanan publik pada saat ini menjadi tolak ukur suatu negara dikatakan gagal
atau baik, untuk mengukur kualitas pelayanan publik adakalanya peneliti
memaparkan penjelasan mengenai pengertian kualitas pelayanan dari berbagai
pakar. Menurut Brady dan Conin dijelaskan bahwa “kualitas pelayanan merupakan
perbandingan antara kenyataan atas pelayanan
yang diterima dengan harapan atas pelayanan yang ingin diterima”
(Afrial, 2009, h.88). Sedangkan ditambahkan oleh Parasuraman, Zeithaml, dan
Berry dalam (Samosir, 2005, h.28) “kualitas pelayanan adalah perbandingan yang
diharapkan konsumen dengan pelayanan yang diterimanya”. Dari pengertian dari berbagai
pakar tersebut dapat dipahami bahwa
masyarakat dalam memberikan penilaian terhadap kualitas pelayanan berdasarkan perbandingan pengalaman
yang pernah dirasakan dengan apa yang diharapkan atas pelayanan tersebut.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa di dalam suatu organisasi, konsep
kualitas pelayanan menjadi ukuran keberhasilan
organisasi, keberhasilan organisasi yang dimakud baik itu pada organisasi
bisnis maupun juga pada organisasi yang bertugas untuk menyediakan pelayanan
publik.
Dalam penyelenggaraan mengenai
pelayanan publik, pemerintah dalam Undang-Undang tentang pelayanan publik Nomor
25 Tahun 2009 dan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor
63/KEP/M.PAN/7/2003 telah merumuskan apa yang menjadi asas, prinsip, dan standar
pelayanan publik hal ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan
publik. Namun dari pengamatan peneliti bahwa prinsip dan standar pelayanan
publik yang digariskan oleh pemerintah sangat sulit dioperasionalisasikan untuk
mengukur kualitas pelayanan publik,
karena pada dasarnya dalam
penelitian kuantitatif dibutuhkan konsep yang jelas sebagai dasar peneliti
untuk melakukan penelitian agar dapat menggambarkan keterukuran yang lebih
nyata sesuai dengan situasi dan kondisi di lapangan. Dalam mengukur kualitas
pelayanan publik, peneliti menggunakan teori yang dikemukakan oleh parasuraman,
et.al. Dalam mengukur sejauh mana kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh
pemerintah. Dalam mengevaluasi kualitas pelayanan tidak hanya ditentukan oleh pemerintah saja namun juga
ditentukan oleh masyarakat, hal ini seperti yang dijelaskan oleh Barata (2003,
h.36) bahwa berbicara mengenai kualitas pelayanan, ukurannya bukan hanya
ditentukan oleh pihak yang melayani saja tapi lebih banyak dilayani, karena
merekalah yang menikmati layanan sehingga dapat mengukur kualitas pelayanan
beradasarkan harapan-harapan mereka dalam memenuhi kepuasannya.
Menurut Parasuraman et al terdapat empat
dimensi kualitas pelayanan (Tjiptono dan Chandra ,2005, h.133-135) Keempat
dimensi itu mencakup:
a. Reliabilitas
(Reliability)
b. Daya
Tanggap (Responsiveness)
c. Empati
(Emphaty)
d. Bukti
Fisik (Tangibles)
Sedanglan Zeithaml (1990:29)
mengemukana tolak ukur kualitas pelayanan publik meliputi. tangible, resliable,
responsiveness, competence, courtesey, credibility, security, access,
communication, understanding the customer.
2.4.
Contoh Pelayanan
Publik (Pembuatan Surat Keterangan Catatan Kepolisian)
Surat Keterangan Catatan Kepolisian
(disingkat SKCK), sebelumnya
dikenal sebagai Surat Keterangan
Kelakuan Baik (disingkat SKKB)
adalah surat keterangan yang diterbitkan oleh Polri
yang berisikan catatan kejahatan seseorang.
Pembuatan SKCK hanya dapat dilakukan oleh pihak kepolisian, tidak boleh
dikeluarkan oleh pihak lain, sehingga pelayanan seperti itu dengan ciri
dimonopoli oleh pemerintah disebut pelayanan pubik.
Standar operasional
prosedur (SOP) pembuatan SKCK :
a) Dasar :
·
Undang – undang No. 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
·
Skep Kapolri No. Tahun 2010
tentang Tata Cara Penerbitan Surat Keterangan Catatan Kepolisian.
·
Skep Kapolri No. Kep / 378 / X /
2008 tanggal 27 Oktober 2008 tentang Proja Akselerasi Transformasi Polri.
·
STR Kabaintelkam Polri No. STR /
131 / I / 2011 tanggal 31 Januari 2011 tentang tetap mempedomani Peraturan dan
Ketentuan yang berlaku dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat (SKCK).
b) Struktur Pelayanan
·
Satuan Intelkam sebagai salah
satu pengembang tugas Kepolisian tingkat Resor (Polres) yang didalamnya
mencakup bidang pelayanan masyarakat (Yanmas) dalam hal ini dibawah koordinasi
Kepala Urusan Administrasi dan Tata Usaha (Kaur Mintu) yang dikendalikan
langsung oleh Kasat Intelkam.
·
Kaur Mintu dibantu oleh 2 (dua)
orang Bintara Pelayanan Masyarakat (Ba Yanmas) yang khusus melayani bidang
perijinan serta pembuatan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) maupun
Rekomendasi kepada setiap masyarakat yang memerlukannya sekaligus menjadi
pelaksana dan pembantu bendahara penerima Satuan Intelkam.
c) Prinsip – Prinsip Pelayanan
·
Legalitas, yaitu penerbitan SKCK
dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang – undangan.
·
Transparansi, yaitu penerbitan
SKCK dilaksanakan secara jelas dan terbuka.
·
Akuntabilitas, yaitu penerbitan
SKCK harus dapat dipertanggungjawabkan.
·
Non diskriminasi, yaitu
penerbitan SKCK diberikan kepada setiap pemohon / masyarakat yang telah
memenuhi syarat yang ditetapkan tanpa dibeda – bedakan.
·
Cepat, yaitu penerbitan SKCK
dilaksanakan dalam waktu singkat.
d) Kewenangan Penerbitan Skck
·
SKCK pada tingkat Polres
diterbitkan oleh Satuan Intelkam dan ditanda tangani oleh Kepala Satuan (Kasat)
Intelkam atau Wakapolres atas nama Kapolres.
·
SKCK yang diterbitkan pada tingkat
Polres meliputi :
·
Menjadi calon pegawai pada
lembaga / instansi / badan milik pemerintah maupun swasta serta perusahaan
vital yang ditetapkan oleh pemerintah.
·
Masuk pendidikan yang
diselenggarakan oleh pemerintah untuk menjadi PNS, anggota TNI dan Polri.
e) Perilaku Petugas Pelayanan
·
Berpenampilan tegas, bijaksana,
sopan serta ramah.
- Dalam hal
menerima masyarakat untuk memberikan pelayanan prima, maka petugas
Kepolisian harus melayani dengan 3S (Senyum, Sapa dan Salam).
- Sigap, tanggap dan sopan dalam memberikan pengertian, pemahaman maupun
instruksi lanjutan kepada setiap masyarakat yang belum memahami
persyaratan / prosedur tentang penerbitan Surat Keterangan Catatan
Kepolisian (SKCK).
f) Prosedur Penerbitan
·
Foto Akte Kelahiran atau Surat
Kenal Lahir sebanyak 1 lembar, serta dapat menunjukan yang asli. Foto copy
Kartu Keluarga sebanyak 1 lembar, selain itu dapat menunjukan yang asli. Foto
copy KTP pemohon sebanyak 1 lembar, selain itu dapat menunjukan KTP yang asli. Pas
foto ukuran 4×6 dengan latar belakang warna merah sebanyak 6 lembar. Pas foto ukuran 2×3 dengan latar belakang
warna merah sebanyak 2 lembar.
·
Setelah berkas SKCK dimasukan,
maka petugas langsung memeriksa / meneliti kelengkapan, dan apabila belum
lengkap maka berkas pemohon dikembalikan dan diarahkan untuk melengkapi maupun
membuat sidik jari pada Unit Reg Ident Sat Reskrim, namun apabila telah
memenuhi persyaratan dan atau telah mempunyai rumus sidik jari maka berkas SKCK
dari pemohon langsung diproses.
·
Waktu yang diperlukan untuk proses
penerbitan SKCK adalah langsung pada hari tersebut, minimal 10 menit namun
apabila ada kendala teknis atau non teknis maka maksimal pada akhir hari kerja
tersebut (pelayanan 1 hari).
g) Biaya Pembuatan Skck
·
Biaya yang dikenakan kepada
masyarakat untuk setiap kali pembuatan SKCK sesuai dengan Peraturan Pemerintah
No. 50 Tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan
Pajak yang berlaku pada Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah
sebesar Rp. 10.000 (sepuluh ribu rupiah).
h) Penekanan / Ketentuan
·
Dalam pelayanan SKCK, setiap
petugas dilarang untuk meminta biaya administrasi melebihi ketentuan yang
berlaku, sedangkan untuk Surat Ijin tidak dipungut biaya.
·
Dalam pelayanan SKCK maupun Surat
Ijin, setiap petugas dilarang untuk menerima gratifikasi dalam bentuk apapun.
·
Dalam pelayanan SKCK maupun Surat
ijin, setiap petugas dilarang menyulitkan pemohon atau memperlambat pengurusan
/ proses dengan alasan yang mengada – ada / dibuat – buat.
Dalam perjalanannya
pembuatan SKCK menuai berbagai tantangan dan rintangan. Salah satunya adalah
paradigma birokrasi yng cenderung diminta untuk dilayani daripada melayani.
Sehingga berbagai persoalan seperti berbelit-belit, tidak akurat, tidak
transparan, tidak adil, tidak propesional, KKN, biaya tinggi marak terjadi.
Beberap oknum yang masih menggunakan mindset untuk memperkaya diri, mereka
malakukan PUNGLI seperti permintaan untuk menambah biaya administrasi yang
tidak sesuai dengan SOP yang telah ditentukan. Sehingga hilangnya kepercayaan
masyarakat kepada institusi tersebut. Padahal kinerja pemerintah akan tercapai
jika adanya sinergi yang baik antara pemerintah dengan masyarakat.
2.5.
Cara Memperbaiki Kualitas Pelayanan Publik
tuntutan masyarakat semakin menguat. Oleh
karena itu, kredibilitas pemerintah sangat dibutuhkan untuk mengatasi berbagai
permasalahan sehingga mampu memnyediakan pelayanan publik yang memuaskan sesuai
dengan tupoksinya. Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk memperbaiki
kualitas pelayanan publik, antara lain :
a.
Penerapan standar pelayanan. Standar pelayanan merupakan suatu komitmen peyelenggara
pelayanan untuk menyediakan pelayanan dengan kualitas tertentu yang ditentukan
atas dasar perpaduan harapan masyarakat dengan kemampuan penyelenggara
pelayanan.
b.
Pengembangan survei kepuasan pelanggan. Untuk menjaga kepuasan masyarakat maka perlu
dikembangkan suatu mekanisme penilaian kepuasan masyarakat atas pelayanan yang
diberikan.
c.
Pengembangan sistem pengelolaan penganduan. Pengaduan masyarakat merupakan satu sumber informasi
bagi upaya upaya pihak penyelanggara pelayanan untuk konsisten menjaga
pelayanan yang dihasilkan sesuai dengan standar yaang telah ditetapkan.
Disamping itu,
peningkatan kualitas pelayanan publik juga perlu didukung dengan adanya
restrukturisaasi birokrasi, yang akan memangkas berbagai kompleksitas pelayanan
publik menjadi lebih sederhana. Birokrasi yang komplek menjadi ladang bagi
tumbuhnya KKN dalam penyelenggaraan pelayanan.
DAFTAR PUSTAKA
Heri Firdaus, Reza. Jurnal: Pengaruh Kualitas
Pelayanan Terhadap Kepuasan Masyarakat (Studi Kasus Pada Proses Pelayanan
Pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP) Di Kantor Kecamatan Rancah). Program
Studi Ilmu Pemerintahan Sekolah Tinggi Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik (Stisip)
Bina Putera Banjar Banjar
Rezha, Fahmi, dkk. Jurnal Administrasi Publik (JAP),
Vol 1, No.5, Hal. 981-990. Analisis Pengaruh Kualitas Pelayanan Publik
Terhadap Kepuasan Masyarakat. Jurusan Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi,
Universitas Brawijaya, Malang.
Sasana, Hadi. 2010. Jurnal: Analisis Layanan
Lembaga Publik terhadap Kepuasan Masyarakat di Kota Semarang.
Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro.
Komentar
Posting Komentar