SEJARAH BERLAKUNYA SYARIAT ISLAM DI ACEH

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini.
Adapun tugas Sejarah Berlakunya Syariat Islam di Aceh ini telah kami usahakan semaksimal mungkin. Untuk itu kami tidak lupa menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam pembuatan tugas ini.
            Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa ada kekurangan baik dari segi penyusun bahasanya maupun segi lainnya. Oleh karena itu dengan lapang dada dan tangan terbuka kami membuka selebar-lebarnya bagi pembaca yang ingin memberi saran dan kritik kepada kami sehingga kami dapat memperbaiki tugas ini.
            Akhirnya penyusun mengharapkan semoga dari tugas ini dapat diambil hikmah dan manfaatnya sehingga dapat memberikan inpirasi terhadap pembaca. 

                                                                                   


                                                                                                            Banda Aceh, 12 Mei 2016

            Penyusun





DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………….2

DAFTAR ISI………………………………………………………………………3

BAB I Pendahuluan………………………………………………………………4

A.    Latar Belakang……………………………………………………………4
B.     Rumusan Masalah………………………………………………………...5
C.    Tujuan……………………………………………………………………..5

BAB II Pembahasan……………………………………………………………...6

A.    Pengertian syariat islam………………………………………………….6

B.     Sejarah penetapan syariat islam di Aceh ………………………………6
1.      Masa kerajaan Aceh………………………………………………….6

2.      Masa awal kemerdekaan Indonesia dan orde baru………………..8

3.      Syariat islam era otonomi khusus (sekarang)……………………...10
3.1  Lembaga yang terkait penerapan syariat islam………………..11

BAB III Penutup……………………………………………………………….....15
A.    Kesimpulan………………………………………………………………..15

Daftar pustaka …………………………………………………………………...16



BAB I
PENDAHULUAN


A.        LATAR BELAKANG
Nanggroe Aceh Darussalam di kenal dengan sebutan seramoe mekkah (serambi mekkah). Nafas islam begitu menyatu dalam adat budaya orang Aceh sehingga aktifitas budaya kerap berazaskan Islam. Contoh paling dekat adalah pembuatan rencong sebagai senjata tradisional di ilhami dari Bismillah. Seni tari-tarian seudati konon katanya berasal dari kata syahadatain, dua kata untuk meresmikan diri menjadi pemeluk Islam. Saat syariat Islam secara kaffah dideklarasikan pada tahun 2001, pro dan kontra terus bermunculan sampai sekarang. Keterlibatan pemerintah dituding ada unsur politik untuk memblokir bantuan Negara non muslim terhadap kekuatan GAM (Gerakan Aceh Merdeka).
Sebagai komitmen bersama atas perdamaian antara Pemerintahan RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), maka dilahirkanlah Undang-Undang No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). UUPA merupakan harapan baru bagi masyarakat Aceh untuk mewujudkan kesejahteraan dalam perdamaian abadi. Lahirnya Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) merupakan satu tonggak sejarah dalam perjalanan bangsa Indonesia, khususnya bagi masyarakat Aceh, karena dengan Undang-Undang ini tercurah harapan untuk terciptanya perdamaian yang langgeng, menyeluruh, adil, dan bermartabat, sekaligus sebagai wahana pelaksanaan pembangunan dalam rangka mewujudkan masyarakat Aceh yang sejahtera. UUPA sendiri terdiri dari 40 Bab dan 273 Pasal. Berdasarkan undang-undang otonomi khusus aceh dan UUPA, dalam hubungannya dengan syariat Islam, maka ketentuan- ketentuan hukum islam yang berkaitan dengan hukum private seperti perkawinan, zakat, tetap berlaku. Adapun ketentuan dengan hukum public dalam hal ini jinayat (hukum pidana islam) sampai saat ini belum berlaku, disebabkan rancangan undang-undang tentang Qanun jinayat dari DPRA (Tingkat provinsi aceh) belum ditandatangani oleh gubernur. Adapun ketentuan hukum public antara lain Qanun maisyir (judi), khamar (minumankeras), khalwat (mesum) sudah ditandatangani oleh gubernur sebagai Qanun yang dinyatakan berlaku di Aceh. Dalam hubungannya dengan syariat Islam di Aceh, mahkamah syariah Aceh pada tingkat provinsi dan mahkamah syariah pada tingkat kota madya/kabupaten merupakan lembaga yang berwenang megadili perkara- perkara pelanggaran berkaitan dengan Qanun yang sudah ditandatangani.

B.       Rumusan Masalah
·         Apa yang di maksud dengan syariat islam ?
·         Bagaimana sejarah penerapan syariat islam di Aceh ?
C.       Tujuan
            Tujuan penulisan makalah ini adaalah untuk meningkatkan pemahaman tentang syariat Islam dan memaparkan bagaimana sejarah dari penerapan syariat Islam di Aceh.













BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Syariat Islam
Syariat (legislasi) adalah semua peraturan agama yang ditetapkan oleh ALLAH untuk kaum muslimin, baik yang ditetapkan dengan Al-Qur’an maupun dengan sunnah Rasul[1].
Syariat Islam secara harfiah adalah jalan (ketepian mandi), yakni jalan lurus yang harus diikuti oleh setiap muslim, syariat merupakan jalan hidup muslim, syariat memuat ketetapan Allah dan Rasulnya, baik berupa larangan maupun suruhan yang meliputi seluruh aspek manusia.
Jadi dapat disimpulkan bahwa syariat islam merupakan keseluruhan peraturan atau hukum yang mengatur tata hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan manusia, manusia dengan alam (lingkungannya), baik yang diterapkan dalam AL-qur’an maupun Hadis dengan tujuan terciptanya kemashlahatan, kebaikan hidup umat manusia di dunia dan di akhirat[2].
B.     Sejarah Penerapan Syariat Islam di Aceh

1.      Masa Kerajaan Aceh
Kerajaan Aceh mencapai kejayaan pada masa pemerintahan Iskandar Muda (1607-1636). Salah satu usaha beliau adalah meneruskan perjuangan sultan sebelumnya untuk melawan kekuasaan Portugis yang sangat membenci islam. Beliau juga mendorong penyebaran agama Islam keluar kerajaan Aceh, seperti Malaka dan pantai barat pulau sumatera.
Peradilan Islam dibentuk untuk mengatur tatanan hukum yang diatur oleh ulama. Pengadilan diberikan kewenangan sepenuhnya untuk mengatur jalan roda hukum tanpa meminta persetujuan pihak atasan, peranan Qadhi malikul Adil (hakim agung kesultanan) di pusat kerajaan Aceh memiliki kewenangan seperti Mahkamah Agung sekarang ini.
Setiap kawasan ada Qadhi ulee balang yang memutuskan perkara di daerah tersebut. Jika ingin mengajukan banding diteruskan pada Qadli Maliku Adil. Kedua Qadhi ini diangkat dari kalangan ulama yang cakap dan berwibawa.
Sultan Aceh merupakan pelindung ajaran Islam sehingga banyak ulama datang ke Aceh. Pada masa itu hidup ulama seperti Hamzah fansuri, Syamsuddin As-samathrani dan Syekh Ibrahim Assyami. Pada masa Iskandar Tsani (1636-1641) datang Nuruddin Arraniri. Pada tahun 1603, Bukhari Al-Jauhari mengarang buku Tajussalatih (mahkota raja-raja), sebuah buku yang membahas tata Negara yang berpedoman pada syariat islam.[3]
Di bawah perintah sultan juga ditulis buku Mit’at-uttullah karangan syekh Abdurra’uf disusun pada masa pemerintahan sultanah Safiattuddin Syah (1641-1675), dan buku Safinatulhukkamyi Takhlish Khashham karangan syekh Jalaluddin At-Tarussani disusun masa pemerintahan Sultan Alaiddin Johansyah (1732-1760). Buku ini ditulis sebagai pegangan hakim dalam menyelesaikan perkara yang berlaku di seluruh wilayah di seluruh kerajaan Aceh sendiri dan di seluruh rantau takluknya. Kedua buku ini bersumber pada buku-buku fiqih bermazhab syafi’i.
Hukum berlaku untuk setiap lapisan masyarakat termasuk kaum bangsawan dan kerabat raja. Dari cerita mulut ke mulut Iskandar Muda menjatuhkan hukuman rajam kepada anak kandungnya sendiri karena terbukti berzina dengan salah seorang isteri bangsawan di lingkungan istana. Raja ling ke XIV masa sultan Ala’uddin Ri’ayatsyah Al-Qahhar (1537-1571) dijatuhi hukuman oleh qadli malikul adil untuk membayar 100 ekor kerbau kepada keluarga adik tirinya yang dia bunuh dengan sengaja (al yasa’ abu bakar, 2006:389-390)
Masa Aceh di bawah tampuk kerajaan masa dulu sudah diterapkan syariat islam, buktinya adalah :
a.       Datangnya ulama-ulama besar, berarti kebutuhan dan penghargaan terhadap ulama masa itu sangat besar.
b.      Dibentuknya peradilan Islam yang diatur oleh ulama tanpa campur tangan penguasa, ada keleluasaan untuk menjalankan hukum syariah.
c.       Pengadilan dibuat sistematis, dari tingkat daerah hingga pusat. Masalah yang tidak selesai di tingkat daerah (qadhi ulee balang) diteruskan ke mahkamah yang lebih tinggi (qadhi malikul adil).
d.      Jika kisah Iskandar Muda yang menghukum anaknya berzina adanya, berarti hukum rajam bagi pelaku zina sudah diberlakukan pada saat itu.[4]

2.      Masa Awal Kemerdekaan Indonesia dan Orde Baru.
Ketika kemerdekaan Indonesia di deklarasikan Soekarno pada 17 agustus 1945, Aceh belum menjadi bagian dari NKRI. Kesediaan bergabung dalam wilayah RI karena adanya janji Soekarno yang ingin memberikan kebebasan untuk mengurus diri sendiri termasuk pelaksanaan syariat Islam. Janji itu terucap pada tahun 1948, Soekarno datang ke Aceh mencari dukungan moril dan materil bagi perjuangan bangsa Indonesia melawan Belanda. Kebebasan melaksanakan syariat merupakan imbalan jika bangsa Aceh bersedia memberikan bantuan.
Daud Beureueh yang menjadi gubernur saat itu berhasil megumpul dana sebanyak 500.000 dolar AS. Untuk membiayai ABRI 250.000 dolar, 50.000 dolar untuk perkantoran pemerintahan, 100.000 dolar untuk biaya pengembalian pemerintahan RI dari Yogya ke Jakarta. Bangsa Aceh juga menyumbang emas lantakan untuk membeli oblogasi pemerintahan dan dua pesawat terbang, selawah agam dan selawah dara.
Janji yang dilontarkan sang presiden RI tidak diwujudkan malah provinsi Aceh disatukan dengan provinsi Sumatera Utara tahun 1951. Hak mengurus wilayah sendiri dicabut. Rumah rakyat, dayah, menasah yang hancur porak-poranda akibat peperangan melawan Belanda dibiarkan begitu saja. Dari sinilah Daud Beureueh menggulirkan ide pembentukan Negara Islam Indonesia( DII ), April 1953 dia bergerilya ke hutan. Namun pada tahun 1962 bersedia menyerah karena dijanjikan akan di buatkan UU syariat Islam bagi rakyat Aceh (majalah Era Muslim “untold history”. 30 September 2009 jam 22:35)
Setelah itu diberikan otonomi khusus untuk menjalankan proses keagamaan, peradatan dan pendidikan namun pelaksanaan syariat Islam masih sebatas yang di izinkan pemerintah pusat. Hal itu tertuang dalam keputusan penguasa perang (panglima militer 1 Aceh/ Iskandar Muda, Colonel M.Jasin) no KPTS/PEPERDA-061/3/1962 tentang kebijaksanaan unsur-unsur syariat agama Islam bagi pemeluknya di Daerah Istimewa Aceh yang berbunyi :
·         terlaksananya secara tertib dan seksama unsur-unsur syariat agama Islam bagi pemeluknya di Daerah Istimewa Aceh, dengan mengindahkan peraturan perundangan negara.
·         penertiban pelaksanaan arti dan maksud ayat pertama di serahkan sepenuhnya kepada pemerintah Daerah Istimewa Aceh.
Pada tahun 1966 orde baru yang berkuasa, disahkan peraturan daerah nomor 1 tahun 1966 tentang pedoman dasar majelis permusyawaratan ulama. Fungsi majelis ini adalah sebagai lembaga pemersatu umat, sebagai penasehat pemerintah daerah dalam bidang keagamaan dan sebagai lembaga fatwa yang akan memberikan pedoman kepada umat islam dalam hidup keseharian dan keagamaanya.
Langkah untuk mewujudkan syariat Islam melalui PERDA yang mengatur rambu-rambu pelaksanaan stariat islam di Aceh ditempuh dengan membuat panitia khusus yang terdiri dari cendekiawan dan ulama di luar DPRD. Rancangan ini disahkan DPRD menjadi peraturan daerah nomor 6 tahun 1968 tentang pelaksanaan unsur syariat Islam Daerah Istimewa Aceh. Ketika peraturan daerah ini di ajukan ke departemen dalam negeri untuk mengesahkan namun ditolak dan secara halus (tidak resmi) meminta DPRD dan PEMDA Aceh mencabut PERDA tersebut.
Tahun 1974 pemerintah mengesahkan undang-undang tentang pokok pemerintahan di daerah yang antara lain menyatakan bahwa sebutan Daerah Istimewa Aceh hanyalah sekedar nama, peraturan sama dengan daerah lain. Syariat Islam yang berlaku di tingkat gampong diganti dengan undang-undang nomor 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa .
Periode orde lama, Soekarno menggunakan janji keleluasaan penerapan syariat Islam untuk mencari dukungan dari pemimpin Aceh, Abu Beureueh dan berhasil. Saat janji yang tak pernah ditepati itu ditagih melalui perlawanan bersenjata, kembali jurus syariat Islam yang di pergunakan dan sekali lagi berhasil. Beberapa PERDA yang mengatur tata pelaksanaan syariat namun sebatas yang di bolehkan penguasa. Masa orde lama pun tak jauh beda. Syariat Islam Cuma sekedar usaha penguatan kedudukan di mata masyarakat yang sudah hilang kesabaran menanti janji pemerintah. Setelah kepercayaan masyarakat tumbuh malah syariat Islam yang di laksanakan turun-temurun tingkat desa malah di hapuskan dan diganti dengan peraturan yang berlaku di seluruh Indonesia.[5]
3.      Syariat Islam Era Otonomi Khusus (2001-sekarang)
Penerapan syariat Islam era otonomi khusus untuk aceh akrab dengan kata-kata                “ penerapan syariat islam secara kaffah di Aceh”. Bisa diartikan usaha untuk memberlakukan Islam sebagai dasar hukum dalam tiap tindak-tanduk umat muslim secara sempurna.
Istilah kaffah digunakan karena negara akan melibatkan diri dalam pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Membuat hukum positif yang sejalan dengan syariat, merumuskan kurikulum yang islami, dan masalah-maslah lain yang berkaitan dengan syariat.
Dasar hukum pelaksanaan syariat islam di Aceh adalah diundangkan UU no 44 tahun 1999 dan UU no 18 tahun 2001. Dalam undang-undang nomor 44 syariat Islam didefinisikan sebagai semua aspek ajaran Islam. Dalam undang-undang nomor 18 disebutkan bahwa mahkamah syar’iyah akan melaksanakan syariat Islam yang di tuangkan ke dalam qanun terlebih dahulu. Qanun adalah peraturan yang dibuat oleh pemerintah daerah Aceh untuk melaksanakan syariat Islam bagi pemeluknya di Aceh (al yasa abu bakar, 2004:61).
Pelaksanaan syariat islam secara kaffah mempunyai beberapa tujuan , di antaranya yaitu:
a.       Alasan agama: pelaksanaan syariat Islam merupakan perintah agama untuk dapat menjadi muslim yang lebih baik, sempurna, lebih dekat dengan Allah.
b.      Alasan psikologis: masyarakat akan merasa aman dan tenteram karena apa yang mereka jalani dalam pendidikan, dalam kehidupan sehari-hari sesuai dan sejalan dengan kesadaran dan kata hati mereka sendiri.
c.       Alasan hukum: masyarakat akan hidup dalam tata aturan yang lebih sesuai dengan kesadaran hukum, rasa keadilan dan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat.
d.      Alasan ekonomi dan kesejahteraan sosial: bahwa nilai tambah pada kegiatan ekonomi, serta kesetiakawanan sosial dalam bentuk tolong menolong, baik untuk kegiatan ekonomi atau kegiatan sosial akan lebih mudah terbentuk dan lebih solid.[6]
3.1 Lembaga yang terkait penerapan syariat islam.
a.      Dinas Syariat Islam.
Dinas syariat Islam provinsi diresmikan pada tanggal 25 Februari 2002. Lembaga inilah yang mengatur jalannya pelaksanaan syariat Islam. Tugas utamanya adalah menjadi perencana dan penanggung jawab pelaksanaan syariat islam di NAD.
b.      Majelis permusyawaratan ulama (MPU)
      Lembaga ini merupakan suatu lembaga independen sebagai suatu wadah bagi ulama-ulama untuk berinteraksi, berdiskusi, melahirkan ide-ide baru di bidang syariat. Kaitannya dalam pelaksanaan syariat Islam adalah lembaga ini bertugas memberikan masukan pertimbangan, bimbingan dan nasehat serta saran dalam menentukan kebijakan daerah dari aspek syariat islam, baik kepada pemerintahan daerah maupun kepada masyarakat.
c.       Wilayatul hisbah (WH)
Wilayatul hisbah merupakan lembaga yang berwenang memberitahu dan mengingatkan anggota–anggota masyarakat tentang aturan-aturan yang ada yang harus diikuti, cara menggunakan dan menaati hukum tersebut, serta perbuatan yang harus dihindari karena bertentangan dengan peraturan.

Tugas wilayatul hisbah.
a.       Memperkenalkan dan mensosialisasi qanun dan peraturan-peraturan lainnya yang berkaitan dengan syariat Islam dan juga mengingatkan atau memperkuatkan aturan akhlak dan moral yang baik.
b.      mengawasi masyarakat agar mereka memahami peraturan yang ada dan berakhlak dengan akhlak yang luhur yang dituntun islam.
c.       melakukan pembinaan agar para pelaku perbuatan pidana tidak melakukan perbuatan maksiat (kejahatan) lanjut.
Wilayatul hisbah diangkat secara khusus oleh gubernur pada tingkat provinsi, tingkat kabupaten atau kota oleh bupati atau walikota sedangkan tingkat gampong diangkat oleh petugas tuha peut (tetua gampong) setempat. Jika dijabarkan tahapan tugas wilayatul hisbah dan kaitannya dengan penegak hukum syariah lain adalah:
a.       Tahap sosialisasi akan berhubungan dengan pimpinan gampong.
b.      Tahap penyidikan bertugas sebagai PPNS (petugas penyidik negeri sipil) dan akan berhubungan dengan polisi.
c.       Tahap penjatuhan hukuman bertugas sebagai petugas pencambuk dan akan berhubungan dengan kejaksaan.

d.        Mahkamah syariah.
              Mahkamah syariah merupakan pengganti pengadialan agama yang sudah dihapuskan. Mahkamah ini akan mengurus perkara muamalah (perdata), jinayah (pidana) yang sudah ada qanunnya. Pendek kata lembaga ini adalah pengadilan yang akan mengadili pelaku pelanggaran syariat islam.
Tingkat kabupaten dibentuk mahkamah syariah dan tingkat provinsi mahkamah syariah provinsi yang diesmikan pada tahun 2003 (dalam alyasa abu bakar, 2004 dan 2006).

Sistem penyusunan hukum syariat islam di NAD
Syariat islam yang akan menjadi hukum materil dituliskan dalam bentuk qanun terlebih dahulu, untuk mencegah kesimpangsiuran. Penerapan hukum jika hakim mengambil langsung dari buku-buku fikih dan berijtihad sendiri dari al-quran dan sunnah rasul.
Sebelum terbentuknya qanun terlebih dahulu di buat rancangan oleh sebuah tim untuk disosialisasikan kepada masyarakat untuk memperoleh masukan dan tanggapan. Setelah itu dilakukan konsultasi antara DPRD dengan MPU.
Sampai tahun 2005 sudah ada beberapa qanun yang disusun dan disahkan bahkan sudah ada pelaku pelanggar syariat yang ditindak dengan hukum ini, diantaranya :
1.      Qanun nomor 11 tahun 2002 tentang pelaksanaan syariat islam bidang aqidah. Ibadah dan syariat Islam.
2.      Qanun nomor 12 tahun 2003 tentang larangan khamar (minuman keras), pelaku yang mengkonsumsi khamar akan dijatuhi hukuman cambuk 40 kali. Hakim tidak di beri izin untuk memilih (besar kecil atau tinggi rendah) hukuman. Bagi yang memproduksi khamar dijatuhi hukuman ta’zir berupa kurungan paling lama satu tahun, paling sedikit 3 bulan dan denda paling banyak Rp. 75.000.000 (tujuh puluh lima juta) dan paling sedikit Rp. 25.000.000 (dua puluh lima juta rupiah).
3.      Qanun nomor 13 tahun 2003 tentang larangan maysir (perjudian).
4.      Qanun nomor 14 tahun 2003 tentang larangan khalwat (perbuatan mesum).
5.      Qanun nomor 7 tahun 2004 tentang pengelolaan zakat.
Hukuman cambuk merupakan hukum yang berlaku dalam syariat islam NAD.
a.       Terhukum dalam kondisi sehat.
b.       Pencambuk adalah wilayatul hisbah yang di tunjuk jaksa penuntut umum.
c.       Cambuk yang digunakan adalah rotan dengan diameter 0.75 s/d 1.00 cm.
d.      Jarak pencambuk dengan terhukum kira-kira 70 cm.
e.       Jarak pencambuk dengan orang yang menyaksikan paling dekat 10 meter.
f.       Pencambukan di hentikan jika menyebabkan luka, di minta dokter atas pertimbangan medis, atau terhukum melarikan diri.
g.      Pencambukan akan dilanjutkan setelah terhukum dinyatakan sehat atau setelah terhukum menyerahkan diri atau tertangkap.[7]

























BAB III
PENUTUP
A.   KESIMPULAN
Syariat Islam merupakan peraturan yang telah ditetapkan Allah dalam Al-Qur’an dan Hadish bagi umat islam tidak hanya segi ibadah namun juga bidang sosial, ekonomi, budaya agar tercipta kehidupan teratur, aman sentosa dunia dan akhirat.
Syariat Islam sudah diterapkan sejak Aceh masih dalam bentuk kerajaan. Ulama merupakan ujung tombak pelaksanaan hukum tanpa harus meminta persetujuan dari penguasa. Pengadilan dibentuk di tingkat daerah dan diteruskan ke pusat jika terdakwa mengajukan banding. Beberapa hukum yang dilaksanakan di antaranya rajam bagi pelaku zina dan denda dengan membayar diyat oleh pelaku pembunuhan sengaja.
Masa orde lama dan orde baru tidak ada pelaksanaan syariat resmi dari pemerintah. Syariat dilaksanakan sendiri oleh masyarakat di tingkat gampong. Pemerintah memahami betul sikap orang Aceh yang menjunjung tinggi syariat islam sehingga digunakan sebagai senjata politik untuk menarik simpati rakyat dan berhasil.
Setelah Aceh diberikan status otonomi khusus tahun 2001, pemerintah mencanangkan syariat Islam secara kaffah khusus wilayah Aceh. Syariat islam secara kaffah diartikan pelaksanaan hukum syariah secara sempurna oleh pemrintah daerah. Beberapa lembaga yang dibentuk untuk menjalankannya yaitu, Dinas Syariat Islam yang mempunyai tanggung jawab utama pelaksanaan hukum syariah, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) sebagai lembaga independen yang bertugas memberikan masukan dan kritikan terhadap jalannya hukum syariat, dan polisi Wilayatul Hisbah yang bertugas mensosialisasikan qanun, menangkap pelanggar qanun serta menghukum pelaku yang melanggar syariat.



DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Zakaria. 1973. sejarah Indonesia jilid II. Medan : Monora.
Abu Bakar,  Al yasa’. 2004. bunga rampai pelaksanaan syariat islam (pendukung Qanun pelaksanaan syariat islam). Dinas syariat islam : Banda Aceh.
Abu Bakar, Al yasa’. 2006. syariat islam di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam-paradigma, kebijakan dan kegiatan. Dinas syariat islam : Banda Aceh.
Musa, Muhammad Yusuf. 1988. islam: suatu kajian komprehensif. Jakarta: Rajawali Press.
Nurhafni, Maryam.2006. pro dan kontra penerapan syariat islam di NAD. SUWA IV (3):59-66
Miswar Sulaeman.www.mahkamahsyariatAceh.go.id





[1]Muhammad Yusuf Musa,islam: suatu kajian komprehensif1998:131
[2]Ali Nurhafni dan Maryam. pro dan kontra penerapan syariat islam di NAD 2006:61
[3]AhmadZakaria,sejarah Indonesia jilid II 1973: 20-22
[4]Abu bakarAl yasa.syariat islam di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam-paradigma, kebijakan dan kegiatan2006:389-390
[5]Abu bakarAlyasa,syariat islam di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam-paradigma, kebijakan dan kegiatan2006:31-39
[6]Abu bakar, Al yasa. bunga rampai pelaksanaan syariat islam (pendukung Qanun pelaksanaan syariat islam)2004:61
[7]Abu bakar, al yasa.syariat islam di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam-paradigma, kebijakan dan kegiatan2006

Komentar

Postingan populer dari blog ini

LEMBAGA KEMENTRIAN (WIZARAH AL-TAFWIDH DAN WIZARAH AL-TANFIDZ)

Opini Tentang Masalah Sosial dalam Masyarakat

Sejarah Lahirnya Sosiologi