RELASI KEPALA DAERAH-DPRD-MASYARAKAT PERIODE 1999-2004


1.        RELASI KEPALA DAERAH-DPRD-MASYARAKAT PERIODE 1999-2004
            Menguatnya posisi DPRD pada periode 1999-2004 tak lepas dari realitas historis yang terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru. Pada masa kepemimpinan Jenderal Soeharto, secara kelembagaan maupun empiris, DPRD tidak lebih sebagai penopang bangunan sentralisasi kekuasaan. Hal ini tidak lepas dari adanya sentralisasi didalam relasi antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah. Implikasinya, dinamika didalam relasi antara kekuatan-kekuatan sosial politik yang ada didaerah juga tidak lepas dari proses-proses politik yang tersentralisasi seperti itu.
            Secara institusional, sentralisasi itu terlihat dari dominannya institusi kepresidenan yang berada didalam kendali figur Presiden Soeharto. Kekuatan-kekuatan lain seperti militer, partai politik, dan birokrasi, bergerak didalam ritme institusi kepresidenan itu. Kata putus dalam berbagai kebijakan strategis pemerintahan berada di istana. Institusi militer, partai politik dan birokrasi, lebih banyak berperan untuk mengamankan dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan strategis yang dibuat oleh institusi kepresidenan itu.  Karena itu, besarnya peran institusi kepresidenan, sampai-sampai William Liddle(1985) menyebut kekuasaan pada pemerintahan Orde Baru sebagai ‘personal rule’, untuk menggambarkan betapa besarnya pengaruh pribadi Presiden Soeharto didalam kehidupan politik di Indonesia.
            Ada yang melihat format politik Orde Baru sebagai daur ulang dari budaya politik lama, sehingga terdapat penyebutan ‘neo-patrimonial’. Tetapi, ada juga yang memahaminya dalam konteks pergulatan ekonomi politik modern, tetapi terkontrol oleh kekuatan-kekuatan politik tertentu seperti militer sehingga lahir sebutan format politik ‘represive developmentalist’ dan ‘bureaucratic authoritarian’. Meskipun demikian, fenomena dan potret yang dijelaskan pada hakikatnya tidaklah berbeda, yaitu adanya sentralisasi kekuasaan, apakah itu karena dipandang bersumberkan pada kuatnya pribadi pemimpin ataukah dipandang karena kuatnya institusi tertentu seperti militer, birokrasi, dan institusi-institusi lain.
            Didalam bangunan politik yang tersentralisasi seperti itu, kekuatan-kekuatan masyarakat lebih berperan sebagai sebuah penonton sebuah teater politik besar yang tidak memiliki kekuatan untuk memengaruhi kebijakan-kebijakan yang diputuskan itu.  Para penonton itu mau tidak mau harus menerima cerita-cerita yang dipertontonkan oleh teater besar itu. Berbagai kebijakan strategis negara, kata Karl D.Jackson, lebih banyak diputuskan oleh sekelompok kecil elite yang ada di Jakarta (Jackson, 1978). Disamping pengaruhnya yang relatif kecil, kekuatan-kekuatan yang ada didalam masyarakat itu tidak memiliki saluran yang memungkinkan mereka menyuarakan kepentingan-kepentingannya secara bebas. Partai politik yang seharusnya berfungsi sebagai saluran kepentingan, sudah terhegemoni oleh pusat-pusat kekuasaan itu. Meminjam istilahnya Kay Lawsom, relasi antara partai politik pada masa Orde Baru dengan konstituennya lebih mengarah pada apa yang disebut ‘directive linkage’ (Lawson, 1980:18). Partai, didalam relasi seperti ini lebih berfungsi sebagai alat pemerintah untuk mempertahankan kekuasaan yang dimiliki, termasuk didalamnya adalah sebagai alat kontrol terhadap masyarakat untuk memengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah.
            Posisi DPRD juga mencerminkan corak politik seperti itu. Secara formal DPRD, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 29 UU No.5 Tahun 1974, memang bisa memiliki sejumlah kewenangan untuk menjalankan fungsi perwakilan. Misalnya, DPRD memiliki hak anggaran, mengajukan pertanyaan, meminta keterangan, mengadakan perubahan, mengajukan pernyataan pendapat, prakarsa dan penyelidikan. Tetapi dalam realitasnya, fungsi-fungsi tersebut sulit diwujudkan karena posisinya yang terhegemoni oleh kekuasaan eksekutif. Didalam struktur pemerintahan daerah, DPRD bersama-sama dengan Kepala Daerah merupakan bagian dari Pemerintahan Daerah. Hal ini terlihat dari Pasal 13 UU No. 5 Tahun 1974 menyatakan, Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah (Gubernur, Bupati/Wali Kota) merupakan eksekutif dari Pemerintahan Daerah. Implikasinya, posisi DPRD berada didalam rentang kendali Kepala Daerah.
            Sementara itu, Kepala Daerah pada kenyataannya lebih merupakan representasi dari pemerintah pusat daripada representasi masyarakat di daerah (Marbun, 1974). Konsekuensinya, meskipun didalam konteks normatif DPRD seolah-olah berkedudukan sejajar dengan Kepala Daerah, didalam realitasnya mereka dibawah kekuasaan eksekutif. Secara formal Kepala Daerah memang dipilih oleh DPRD yang merupakan representasi rakyat di daerah secara politik. Tetapi pada kenyataannya, DPRD tidak lebih sebagai lembaga pengesah saja karena Kepala Daerah itu sejatinya telah diputuskan oleh pusat-pusat kekuasaan, mulai dari institusi Presiden, Golkar, dan militer. Dengan demikian, Kepala Dererah pada masa pemerintahan Orde Baru itu lebih merupakan tunjukan (appointed) dari pusat-pusat kekuasaan dan bukanlah pilihan (elected) dari DPRD. Implikasinya, Kepala Derah lebih cenderung memberikan pertanggungjawaban kepada pusat-pusat kekuasaan itu daripada kepada rakyat di daerah. Kecenderungan demikian menjadi semakin kuat karena secara legal formal memang ada kewajiban seperti ini. Di dalam Ayat 2 Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1974 dikatakan, dalam menjalankan hak, wewenang, dan kewajiban pemerintah daerah, Kepala Daerah menuntut hierarki bertanggung jawab kepada presiden melalui menteri dalam negeri.
            Kepala Daerah juga berfungsi sebagai Dewan Pembina Golkar di daerahnya masing-masing. Mengingat posisi Dewan Pembina pada masa pemerintahan Orde Baru itu sangat besar pengaruhnya, para Kepala Daerah itu juga memiliki kekuasaan untuk mengendalikan para wakil rakyat di DPRD. Hal ini terjadi karena mayoritas anggota DPRD berasal dari Golkar. Bahkan, tidak jarang para Kepala Daerah itu juga bisa mengendalikan para wakil rakyat yang berasal dari PPP dan PDI mengingat kedua partai ini memang berada dalam subordinasi penguasa.  Kedua partai itu secara finansial memiliki ketergantungan kepada Pemerintah Daerah. Selain itu, kedua partai ini dipaksa untuk tidak berkembang agar hegemoni kekuasaan terus terjaga. Itulah sebabnya sistem kepartaian pada masa Orde Baru bukanlah multi partai, melainkan satu setengah partai.
            Implikasi dari relasi kekuasaan daerah yang seperti itu adalah tiadanya mekanisme checks and balance antara DPRD dengan Kepala Daerah. Misalnya, para Kepala Daerah memang berkewajiban untuk memberikan keterangan pertanggungjawaban sekurang-kurangnya setahun sekali. Tetapi, implikasi dari keterangan pertanggungjawaban tersebut tidaklah tegas. Jelek atau tidaknya keterangan yang diberikan tidak berdampak apa-apa terhadap Kepala Daerah.
            Ketika proses demokratisasi digulirkan seiring dengan runtuhnya kekuasaan Orde Baru pada tahun 1998, terdapat upaya serius untuk melakukan dekonstruksi atas relasi kekuasaan seperti itu. Upaya tersebut bisa terjadi karena adanya pergantian pengendalian kekuasaan dari Jenderal Soeharto kepada B.J. Habibie. Pada masa pemerintahan Soeharto, kekuatan-kekuatan yang ada didalam masyarakat tiak berdaya. Sementara itu, pada masa pemerintahan Habibie kekuatan-kekuatan yang ada didalam masyarakat bisa relative lebih leluasa memengaruhi kebijakan-kebijakan negara. Disisi lain, negara tidak saja kekurangan legitimasi didalam melakukan penekanan-penekanan terhadap kekuatan-kekuatan yang ada didalam masyarakat, termasuk didalamnya sudah tidak mampu lagi menggunakan kekuatan militer seperti sebelumnya. Krisis ekonomi telah membuat negara kehilangan control atas sejumlah sumber-sumber keuangan. Padahal, kemampuan mengontrol sumber-sumber keuangan merupakan salah satu faktor penting dari kuatnya negara Orde Baru.
            Dekonstruksi relasi kekuasaan di daerah berseiring dengan dekonstruksi relasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.  Pada masa pemerintahan Habibie, pemerintah memperkenalkan kebijakan tentang desentralisasi yang cukup mendasar. Syarief  Hidayat dan Hans Antlov bahkan menyatakan bahwa kebijakan desentralisasi ini barangkali merupakan kebijakan desentralisasi yang paling radikal di dunia dalam lima belas tahun terakhir. Di dalam kebijakan desentralisasi yang baru itu, bentuk desentralisasinya tidak sebatas pada desentralisasi administrative, melainkan juga mencakup desentralisasi fiskal dan politik.
            Di dalam desentralisasi politik, daerah tidak hanya diberi keleluasaan didalam proses pembuatan dan pengimplementasian berbagai kebijakan daerah, sebagaimana  tercermin dari diserahkannya sebagian besar urusan-urusan pemerintahan kepada daerah. Relasi kekuasaan di daerah juga diperbarui. Jika sebelumnya DPRD lebih banyak berfungsi sebagai alat stempel berbagai kebijakan eksekutif dan pemerintah pusat, dalam relasi baru ini DPRD memiliki kekuasaan yang lebih besar.  Kekuasaan DPRD itu tidak berbeda dengan kekuasaan yang dimiliki oleh DPR di pusat.
            Di sisi lain, Kepala Daerah dituntut  memiliki pertanggungjawaban yang lebih besar kepada DPRD. Para kepala daerah contohnya, diwajibkan membuat Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) setiap tahun kepada DPRD. LPJ juga berarti laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD yang telah disepakati oleh Kepala Daerah dan DPRD setahun sebelumnya. LPJ ini berbeda dengan LPJ pada masa pemerintahan Orde Baru, DPRD memiliki kekuasaan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai LPJ yang diberikan dan berhak menolak dan memaksa Kepala Daerah untuk memperbaiki LPJ yang diberikan. Sekirannya LPJ yang telah diperbaiki tetap itolak, DPRD bisa mengusulkan kepada presien melalui Menteri Dalam Negeri untuk memberhentikan Kepala Daerah. Akibat dari aturan seperti ini, setiap akhir tahun, relasi antara DPRD dan Kepala Daerah terlihat tegang.
            Munculnya kekuasaan DPRD yang lebih kuat itu juga berseiring dengan peta kekuatan politik yang ada di daerah. Fenomena umum yang muncul adalah berkurangnya dominasi Golkar di tubuh DPRD. Hal ini berkaitan dengan merosotnya secara tajam perolehan suara Golkar pada Pemilu 1999, dari rata-rata 60 persen setiap Pemilu menjadi 22,4 persen. Penurunan demikian lebih terasa lagi karena posisi TNI/Polri,yang pada periode 1999-2004 masih duduk di DPR, tidak lagi dalam suasana ‘dwi tunggal’ di DPRD. Dalam masa transisi ini, TNI/Polri pada dasarnya lebih berperan sebagai pelengkap dari proses-proses politik di daerah karena secara riil suaranya tidaklah besar lagi.
            Konfigurasi kekuatan politik antara daerah yang satu dengan daerah yang lain berbeda-beda. Ada partai politik yang sangat berpengaruh di daerah tertentu tetapi lemah di daerah lain. Golkar sangat menurun perolehan suaranya di Jawa, tetapi masih relatif cukup berpengaruh di luar Jawa. PDIP memiliki pengaruh yang cukup merata di Indonesia, tetapi relatif kecil di Aceh dan Sumatera Barat. PKB cukup berpengaruh di Jawa Timur tetapi tidak di daerah lain.
            Mengingat kekuasaan DPRD pada periode 1999-2004 cukup kuat, terdapat kecenderungan memulanya ‘legislative heavy’ di alam relasi antara DPRD dan Kepala Daerah. Kecenderungan demikian mengingatkan relasi antara eksekutif dengan legislatif  di dalam sistem perlementer, dimana eksekutif dituntut memiliki pertanggungjawaban yang besar kepada legislatif. Manakala tidak dapat dipertanggungjawabkannya, legislatif bisa saja melakukan mosi tidak percaya dan memecatnya.
            Munculnya ‘legislative heavy’ cenderung menonjol manakala yang menjadi Kepala Daerah berasal dari partai kecil. Partai-partai yang ada di DPRD dalam kondisi demikian bisa memaksimalkan posisinya untuk melakukan control yang lebih kuat kepada Kepala Daerah.




2. RELASI KEPALA DAERAH-DPRD-MASYARAKAT PASCA PILKADA SECARA LANGSUNG
            Revisi UU No. 22 Tahun1999 menjadi UU No. 32 Tahun 2004 sedikit banyak telah memengaruhi relasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Revisi UU tentang Pemerintahan Daerah itu telah menandai adanya kecenderungan resentralisasi. Melalui UU yang lebih baru itu, otoritas pemerintah di daerah menjadi lebih besar. Di dalam UU yang baru itu, provinsi sebagai alat dari pemerintah pusat di daerah, memiliki otoritas yang lebih besar kepada daerah. Pemerintah provinsi dan pusat juga memiliki kekuasaan yang lebih besar didalam mengevaluasi dan membatalkan keputusan-keputusan daerah yang dipandang bermasalah, termasuk APBD yang dibuat secara tidak rasional dan diduga bermuatan KKN.
            Revisi itu juga telah menandai adanya relasi yang lebih baru antara Kepala Daerah dan DPRD. Jika di dalam UU No. 22 terdapat kecenderungan munculnya pola relasi ‘legislative heavy’, di dalam UU No. 32 justru kembali terdapat kecenderungan ‘executive heavy’. Hal ini terlihat dari berkurangnya otoritas yang dimiliki oleh DPRD, termasuk otoritas didalam mengontrol Kepala Daerah.
            Pertanggungjawaban Kepala Daerah yang baru pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan pertanggungjawaban Kepala Daerah pada masa pemerintahan Orde Baru. Pertanggungjawaban itu diberikan kepada pemerintah pusat. Gubernur bertanggungjawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri, sedangkan Bupati/Wali Kota bertanggungjawab kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur. Kewajiban Kepala Daerah kepada DPRD tidak lebih hanya memberi keterangan pertanggungjawaban. Meskipun demikian, ada juga yang berbeda dengan era pemerintahan Orde Baru. Kepala Daerah harus memberikan informasi mengenai apa yang telah dilakukan itu kepada masyarakat, melalui publikasi laporan. Dan Kepala Daerah dipilih secara langsung oleh masyarakat.
            Meskipun demikian, pola ‘executive heavy’ itu hanyalah dirujukkan pada penglihatan otoritas didalam teks UU. Secara empiris, terdapat inamika yang lebih besar jika dibandingkan dengan apa yang terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru. Pada kenyataannya, pola itu tidak selalu berwujud adanya ‘executive heavy’ melainkan bisa saja tetap pada ‘legislative heavy’. Disamping itu, otoritas yang dimiliki oleh DPRD pada dasarnya juga masih cukup besar, jauh lebih besar daripada otoritas yang dimiliki oleh DPRD  yang diatur oleh UU No. 5 Tahun 1975. DPRD masih memiliki hak-hak yang bisa dipakai untuk mengontrol Kepala Daerah, yakni hak interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat, disamping hak-hak yang lain. Kepala Daerah dalam menjalankan tugas sehari-harinya, tidak bisa begitu saja mengabaikan posisi DPRD karena yang terakhir ini masih memiliki posisi kuat di dalam melakukan penekanan-penekanan. Di dalam penyusunan APBD contohnya, sekiranya DPRD menolak penyusunan RAPBD yang diajukan oleh Kepala Daerah, APBD yang baru itu tidak bisa disahkan.
            Dalam tataran empiris, relasi antara Kepala Daerah-DPRD bisa bervariasi antara daerah yang satu dengan daerah yang lain. Tergantung pada siapa yang menjadi Kepala Daerah, dari partai mana, dan seberapa besar mereka memperoleh dukungan dari rakyat maupun dari kekuatan-kekuatan yang ada di DPRD. Dalam kasus Kepala Daerah dipilih secara mayoritas mutlak dan memperoleh dukungan dari koalisi partai-partai yang memiliki suara mayoritas di DPRD, adanya kecenderungan ‘executive heavy’ lebih mungkin menjadi kenyataan. Secara politik, Kepala Daerah seperti ini memiliki tingkat legitimasi yang sangat kuat. Dari masyarakat memiliki ‘popular vote’ yang sangat berarti, sehingga bisa disebut sebagai Kepala Daerah pilihan rakyat. Sementara itu, di DPRD tentu memiliki dukungan besar karena dicalonkan oleh partai-partai yang mengendalikan kekuasaan di DPRD. Secara politik, para anggota DPRD tentu harus bertanggungjawab terhadap dukungan yang diberikan itu. Dengan demikian, didalam perjalanan pemerintahan daerah sehari-hari, DPRD akan cenderung memberikan dukungan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah daerah daripada melakukan perlawanan-perlawanan.
            Dalam kasus Kepala Daerah terpilih dari salah satu partai besar, misalnya PDIP, Golkar, PKB, PAN, PKS, atau partai-partai lain, relasi antara Kepala Daerah-DPRD akan lebih cenderung berlangsung lebih dinamis. Di dalam kasus seperti ini akan muncul pola ‘checks and balances’, yakni adanya posisi yang relatif sama kuat antara Kepala Daerah dan DPRD. Di satu sisi, terdapat Kepala Daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat dan didukung oleh salah satu kekuatan politik di DPRD. Di sisi lain, di DPRD terdapat kekuatan-kekuatan politik lain yang didalam pelaksanaan Pilkada berseberangan dengan Kepala Daerah terpilih.
            Ketika membuat kebijakan-kebijakan, Kepala Daerah harus transparan kepada publik. Selanjutnya, DPRD bisa menggunakan kekuasaan yang dimilikinya itu untuk mengendalikan Kepala Daerah agar tidak membuat kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan publik. Pola kedua ini, pada akhirnya mengarah kepada apa yang disebut oleh Arend Lijphart (1999) sebagai ‘consensus model’ demokrasi. Jika pada akhirnya terdapat keputusan-keputusan politik yang disepakati, hal itu merupakan buah dari consensus yang lahir antara Kepala Daerah dan DPRD. Mengingat tidak ada kekuatan yang dominan, pola ini lalu memunculkan ‘a more balanced executive-legislative relationship’ (Lijphart, 1999: 116).
            Yang terakhir adalah pola ‘legislative heavy’ didalam relasi antara Kepala Daerah-DPRD. Pola demikian terjadi manakala Kepala Daerah yang terpilih itu dicalonkan oleh partai yang memiliki suara kecil di DPRD, atau dicalonkan oleh gabungan dari partai-partai kecil di luar parlemen. Yang terakhir ini bisa terjadi karena MK telah mengabulkan gugatan agar partai-partai yang tidak memiliki kursi di DPRD bisa mengajukan Kepala Daerah. Syaratnya, yang mengajukan itu haruslah merupakan kumpulan partai-partai yang memiliki suara minimal 15 persen dari suara yang sah dalam pileg.
            Salah satu argument pokok yang mendasari dilaksanakannya Pilkada secara langsung adalah mengembalikan otoritas kepada masyarakat. Sistem representasi yang dibangun melalui Pilkada secara langsung lebih memberi otoritas yang lebih besar kepada masyarakat daripada sistem representasi yang mendelegasikan otoritas memilih Kepala Daerah kepada DPRD.
            Relasi antara DPRD dan Kepala Daerah kepada masyarakat bisa terlihat pada kemungkinan adanya akuntabilitas kepada masyarakat. Secara politik, akuntabilitas itu bisa dilakukan pada saat Pemilu berikutnya. Manakala anggota DPRD dan Kepala Daerah bisa dikatakan accountable. Sebaliknya, kalau tidak terpilih bisa dikatakan tidak accountable Argumentasi demikian didasarkan pada prinsip demokrasi liberal yang memberi ruang kepada masyarakat melakukan penilaian terhadap para wakil mereka, baik di DPRD maupun Kepala Daerah.

            Secara teoritis, relasi antara Kepala Daerah dan masyarakat bisa berlangsung lebih baik pasca Pilkada secara langsung ini. Dalam konteks akuntabilitas, Kepala Daerah harus menjalinnya secara langsung dengan masyarakat. Kepala daerah setiap tahun dituntut untuk menyeberluaskan informasi kepada masyarakat terhadap apa yang dikerjakannya. Sehingga masyarakat bisa menilai Kepala Daerah apakah yang telah dikerjakannya sesuai dengan janji- janji saat kampanye atau tidak.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

LEMBAGA KEMENTRIAN (WIZARAH AL-TAFWIDH DAN WIZARAH AL-TANFIDZ)

Opini Tentang Masalah Sosial dalam Masyarakat

Sejarah Lahirnya Sosiologi